;

SUMBER POLUTAN DAN LOGAM BERAT

Oleh
Muhammad Faiz Barchia

Pencemaran pada agroekosistem dan ekosistem hilirnya banyak mendapat sorotan saat ini. Pencemaran dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, yaitu pertanian, pertambangan, industri, transportasi, rumah tangga dan lain-lain. Komponen utama dari agroekosistem yang berpotensi untuk tercemar adalah air dan tanah, yang selanjutnya akan berpengaruh pula terhadap kualitas pertanian dan makhluk hidup yang berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada dalam agroekosistem dan daerah hilir yang dipengaruhinya.
Sumber pencemar pada agroekosistem dapat berupa 1) point source (PS) pollutants, yakni sumber-sumber pencemar yang dapat dengan jelas dari mana titik asalnya, misalnya pencemar yang dihasilkan dari kegiatan industri dan pertambangan, dan 2) non point source (NPS) pollutants, yakni sumber-sumber pencemar yang sulit untuk dikenali secara pasti dari mana titik pencemar berasal. Bahan pencemar yang berasal dari kegiatan pertanian digolongkan sebagai NPS. Penanggulangan pencemaran NPS relatif lebih sulit dibandingkan dengan penanggulangan pencemaran PS polutan. Penanggulangan pencemaran PS polutan dapat dilakukan dengan perbaikan prosedur pengolahan limbah yang akan dialirkan ke sungai atau badan air lainnya.
Kegiatan pertanian seringkali dijadikan contoh sebagai penghasil utama NPS, karena kegiatan ini umumnya menggunakan bahan kimia yakni pupuk dan pestisida. Penggunaan agrokimia untuk budi daya pertanian dapat mencapai 30 – 50% dari total input produksi pertanian. Input pertanian tersebut berubah menjadi bahan pencemar sebagai akibat penggunaan yang berlebihan atau tingkat kehilangan yang tinggi. Pencemaran bukan hanya dapat terjadi secara insitu, yakni pada areal dimana budi daya dilakukan, namun berpeluang besar untuk menyebar ke daerah hilir. Adanya keterkaitan melalui daur hidrologi menyebabkan adanya pengaruh yang sangat besar dari daerah hulu terhadap daerah hilir. Perubahan penggunaan lahan yang dilakukan di daerah aliran sungai bagian hulu seperti aktivitas pertanian, pertambangan, industri tidak hanya akan berdampak pada sekitar tempat kegiatan berlangsung, tetapi juga akan berdampak pada daerah hilir di antaranya dalam bentuk perubahan/fluktuasi debit dan transpor sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air.
Dalam hubungannya dengan pencemaran, aliran air mempunyai peranan yang sangat penting karena aliran air baik dalam bentuk aliran permukaan (surface run off) maupun aliran bawah permukaan (subsurface run off) merupakan agen utama pengangkutan, pemindahan, dan penyebaran bahan-bahan pencemar. Oleh karena itu, pencemaran pada suatu agroekosistem selain ditentukan oleh jumlah bahan pencemar, juga sangat dipengaruhi oleh seberapa besar persen air yang jatuh dalam agroekosistem yang berubah menjadi aliran permukaan dan berperan sebagai agen pembawa bahan-bahan pencemar. Tanah atau sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan juga merupakan agen utama pembawa dan penyebar bahan-bahan pencemar pada agroekosistem.
1. Logam Berat
Ada beberapa unsur logam yang termasuk elemen mikro merupakan logam berat yang tidak mempunyai fungsi biologis sama sekali. Logam tersebut bahkan sangat berbahaya dan dapat menyebabkan keracunan pada organisme, yaitu timbal (Pb), merkuri (Hg), arsen (As), kadmium (Cd) dan aluminium (Al). Toksisitas tidak hanya disebabkan diet logam nonesensial saja, tetapi logam esensial dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan toksisitas. Duxbury (1985) mengklasifikasikan logam berat menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat potensi toksisitasnya terhadap makhluk hidup dan aktivitas mikroorganisme, yaitu 1) ekstrem toksik, seperti Hg; 2) toksik sedang seperti Cd, dan 3) toksik rendah seperti Cu, Ni dan Zn. Logam Pb umumnya terdapat dalam tanaman pangan berasal dari pencemaran atmosfer karena penggunaan bahan bakar fosil. Senyawa Hg anorganik yang masuk ke dalam sistem tanah akan bereaksi cepat membentuk kompleks organik atau diretensi oleh mineral liat, tetapi dalam suasana tereduksi atau dalam sistem drainase dapat mudah terlarut dan bergerak dari satu sistem ke sistem lainnya, dan dalam bentuk metil Hg akan mudah diserap tanaman. Logam arsen (As) terdapat dalam pestisida. Pemakaian pestisida secara terus menerus menyebabkan terakumulasinya As dalam tanah pertanian. Kisaran kandungan logam berat yang sering muncul sebagai pencemar lingkungan dalam tanah dan tanaman disajikan seperti Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Kisaran kadar logam berat sebagai pencemar dalam tanah dan tanaman (Soepardi, 1983).

Beberapa sumber yang dapat menyebabkan logam berat masuk dalam ekosistem pertanian yaitu buangan limbah industri yang masuk ke lahan pertanian, aktivitas pertambangan di bagian hulu daerah aliran sungai, erosi dan dari pupuk dan pestisida yang mengandung logam berat.
Kandungan alami logam pada suatu ekosistem terdampak akan berubah-ubah tergantung pada kadar pencemaran oleh aktivitas sumber pencemar yang membuang limbahnya ke suatu sistem drainase, ketidaksempurnaan pengelolaan limbah pertambangan yang masuk ke ekosistem sungai, erosi, dan di lahan pertanian karena kandungan logam pupuk dan dalam pestisida. Sebagai perbandingan kandungan logam dari pengaruh limbah tambang jauh lebih besar dari kandungan logam berat yang terangkut oleh erosi (Tabel 2)
Tabel 2. Jumlah logam yang mencemari lingkungan oleh pengaruh erosi dan pertambangan (Darmono, 1995)
Selintas mengingat kembali tentang keracunan logam berat merkuri, walaupun wilayah terdampak bukanlah wilayah aktivitas pertanian. Keracunan merkuri (Hg) adalah keracunan logam pertama yang pernah dilaporkan dan merupakan kasus pertama penyakit keracunan yang masuk dalam daftar undang-undang kesehatan industri. Dalam perkembangan teknologi industri sejak ratusan tahun yang lalu, logam merkuri telah ditemukan terkandung dalam limbah dan mengakibatkan pencemaran lingkungan sungai, danau, dan lautan. Kehidupan organisme perairan yang tercemar Hg akan mengkonsumsi Hg jauh lebih tinggi dari organisme yang hidup di perairan belum tercemar. Kasus Minamata dimana penduduk di sekitar Teluk Minamata banyak mengkonsumsi ikan yang mengandung Hg sekitar 2.600 – 6.600 ug metil-Hg kg, yaitu kandungan metil-Hg dalam taraf yang meracun, sementara ambang batas yang ditentukan oleh FAO/WHO yaitu maksimum 30 ug (Darmono, 1995).
Apabila sistem pertanian menggunakan air sungai untuk memenuhi kebutuhan air tanaman maka sungai yang tercemar ini akan membawa logam-logam berat ke lahan pertanian. Wilayah hulu dari daerah aliran sungai dengan aktivitas pertambangan emas dan perak dapat berakibat pencemaran pada agroekosistem daerah hilir yang menggunakan air irigasi buangan aktivitas pertambangan logam mulai tersebut. Dalam proses pemurnian bahan tambang emas dan perak, logam berat mercuri merupakan kimia yang digunakan dalam proses pemurnian logam tersebut. Sisa hasil proses tambang emas pada pertambangan tradisional tidak pernah dilakukan pengelolaan limbah. Limbah proses aktivitas tambang liar dilepas ke sistem drainase alami, sehingga wilayah hilir dengan beragam aktivitas yang menggunakan air aliran sungai dan pengairan untuk persawahan akan menjadi wilayah terdampak pencemaran logam berat Hg. Apabila tanah pertanian tercemar logam berat Hg, mineralisasi nitrogen dan nitrifikasi akan terhambat, dimana Hg sangat menghambat mineralisasi N pada tanah .
Air irigasi di salah satu wilayah Majalaya sudah bercampur dengan limbah industri dimana kandungan logam berat seperti Mn dan Cd relatif tinggi, yaitu berturut-turut 74.6 ppm dan 0.52 ppm. Disamping karena pencemaran oleh air irigasi yang mengandung polutan logam berat, penggunaan kapur pertanian dan pemberian pupuk mikro CuSO4 dapat meningkatkan kadar logam berat Cd karena penambangan kapur dan penggunaan pupuk mikro terkontaminasi Cd sebagai bahan ikutan hasil tambang bahan tersebut (Roechan, dkk. 1995).
Rata-rata konsentrasi Pb di permukaan tanah sekitar 25 ppm (Pendias dan Pendias, 1991) tetapi dengan menyebarnya polutan Pb, sudah cukup banyak lahan pertanian yang tercemar Pb. Kandungan Pb dalam tanah yang dapat meracuni tanaman berkisar dari 100 ppm sampai 500 ppm. Tingginya kandungan Pb pada tanah dapat berasal dari curah hujan di wilayah yang pencemaran udaranya sangat tinggi. Di wilayah perkotaan sering terjadi pencemaran karena tingginya penggunaan bahan bakar yang mengandung Pb, bahkan pencemaran udara oleh transportasi dapat mencapai 60% dari total pencemaran. Logam berat ini terbawah air hujan langsung tersimpan di permukaan tanah atau masuk ke dalam sistem drainase. Untuk meningkatkan kesuburan tanah pada usaha tani sayuran di perkotaan, petani sering menggunakan air di sungai yang tercemar untuk pengairan dan penyiraman tanaman sayurannya. Tindakan penggunaan air sungai yang tercemar ini adalah untuk mengefisienkan penggunaan pupuk karena air sungai telah mengalami pengkayaan unsur hara, tetapi sekaligus juga air sungai tersebut banyak mengandung logam-logam berat yang berasal dari polusi lingkungan. Pengkayaan tanah-tanah pertanian kota dengan logam berat ini dapat meningkatkan serapan logam berat tersebut oleh tanaman. Sebagai contoh, tingkat pencemaran Pb pada tanaman sayuran seperti kangkung, bayam, caisim yang ditanam di pinggir jalan raya Jakarta telah melampaui ambang batas. Kandungan Pb dalam daun kangkung sebesar 29.9 mg kg-1 dan dalam batang kangkung sebesar 15.5 mg kg-1, dan jauh di atas ambang batas 2.0 mg kg (Darmono, 1995). Keracunan Pb pada organisme telah lama diketahui, dan keracunan oleh Pb pada manusia disebut dengan plumbism.
Seiring dengan penggunaan air sungai yang tercemar sebagai sumber pengairan untuk pertanian, limbah padat sungai (sewage sludge) dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah tanah tropika. Sewage sludge kaya bahan organik sehingga dapat menekan aktivitas Al pada tanah tropika. Sludge juga banyak mengandung sejumlah unsur hara esensial N, P, K,Ca, dan Mg. Limbah padat sungai juga kaya akan unsur hara esensial mikro seperti Fe, Mn, Zn dan Cu. Tetapi keberadaan unsur mikro tersebut dan juga logam berat lain seperti Pb, Cd, dan Hg dalam jumlah yang cukup tinggi dapat bersifat toksik bagi tanaman. Lebih jauh, kandungan yang relatif tinggi dari unsur hara mikro dan logam berat lainnya dalam limbah padat sungai yang digunakan untuk bahan penyubur tanah dapat mencemari lingkungan tanah pertanian. Logam berat yang terlarut pada tanah pertanian dapat diserap tanaman dan terbawa oleh hasil panen yang kemudian dikonsumsi oleh manusia dan ternak sehingga logam berat akan masuk ke dalam sistem metabolisme tubuh manusia dan ternak (Barchia, 1995).


SAMPAH, TANAH dan MULTI FUNGSI PERTANIAN

Oleh
Muhammad Faiz Barchia

Daur Ulang Sampah Organik
Tanah tropika adalah tanah yang umumnya mengandung bahan organik rendah. Seperti dinyatakan sebelumnya bahwa bahan organik tanah pada beberapa macam tanah tropika seperti pada tanah Inceptisols, 4,44%, pada tanah Entisols, 3.10%, dan pada tanah Ultisols, 3.64%. Pada tanah Inceptisols Bengkulu, kandungan C organik di bawah tegakan kemiri rata-rata 2.2%, di bawah tegakan kopi 1.1%, dan campuran kemiri dengan kopi sebesar 1.2%. Pembukaan lahan dan pengelolaannya untuk pertanian dapat menurunkan kandungan bahan organik tanah. Pengolahan tanah pada tanah lempung berpasir yang awalnya berupa tegakan hutan mengandung 2.30% bahan organik, turun menjadi 1.59% setelah pengolahan 3 tahun untuk usaha pertanian. Penggunaan tanah tropika yang intensif telah menurunkan kandungan bahan organik tanah di Chacra Brazil dari 2.13% menjadi 1.55% C-org (Sanchez, 1983). Setelah 4 tahun penanaman dengan tanaman singkong bahan organik tanah pada tanah Ultisols lampung turun dari 4.37 menjadi 2.80% C-organik (McIntosh dan Suryatna, 1978). Tentunya penurunan kandungan bahan organik pada tanah tropika ini akan menurunkan produktivitas lahan, sehingga untuk memulihkan produktivitas lahan yang mulai menurun karena menurunnya kandungan bahan organik ini perlu dilakukan penambahan bahan organik.
Multifungsi pertanian yang lain adalah manfaat lahan sebagai tempat pendaurulangan sampah organik, dan fungsi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini ditunjukkan oleh adanya permasalahan sampah yang masih banyak dihadapi oleh berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh, total produksi sampah kota di daerah aliran sungai Citarum mencapai 26.76 juta ton tahun-1 (Setianto, dkk. 2003), dan bila tidak didapatkan jalan pemecahannya yang tepat maka sampah kota akan menjadi sumber utama pencemaran. Pembuangan sampah secara terbuka (open dumping) berakibat meningkatnya intensitas pencemaran. Kebijakan pengelolaan sampah selama ini lebih berorientasi pada usaha memindahkan sampah yang tersebar ke satu lokasi akhir pembuangan sampah, tanpa proses pemilahan, daur ulang, dan pemanfaatan ulang sampah terlebih dahulu.
Konsep reuse dan recycle dalam pengelolaan sampah merupakan konsep yang mengupayakan pemanfaatan kembali sampah atau barang yang tidak berguna, dan pendaurulangan sampah menjadi barang lain yang bernilai ekonomis. Konsep reuse dan recycle merupakan bagian dari konsep zero waste dengan mendirikan tempat pembuatan kompos dan industri kecil daur ulang sampah. Pengelolaan sampah secara terpadu yang melibatkan proses pengomposan, pendaurulangan dan pembakaran (incenerator) dapat mereduksi sampah sampai 96% (Bebasari, 2000).
Sesungguhnya tanah tropika sebagai lahan pertanian membutuhkan suplai bahan organik yang tinggi, dan saat ini kebutuhan bahan organik untuk lahan pertanian semakin meningkat apalagi dengan beralihnya sejumlah petani ke sistem pertanian organik. Pengoptimalan fungsi lahan pertanian sebagai tempat pendaurulangan sampah kota merupakan tindakan tepat, karena proporsi bahan organik dalam sampah kota tergolong tinggi. Sampah kota yang berasal dari tujuah pasar di Jakarta menunjukkan bahwa setelah disortasi mengandung bahan kompos cukup tinggi yakni berkisar antara 70-98% dari total berat basah, dan hasil kompos setelah pengeringan rata-rata mencapai 30% terhadap berat sampah sebelum disortasi atau 37% terhadap berat sampah setelah disortasi.
Optimalisasi fungsi lahan pertanian sebagai tempat pendaurulangan bahan organik akan menghasilkan banyak keuntungan, yaitu dari segi penanggulangan penumpukan sampah maka sekitar 70 – 90% proporsi berat basah dari sampah kota merupakan bahan kompos, ini berarti jumlah sampah yang berpeluang terserap untuk lahan pertanian sangat besar. Selanjutnya, peluang terjadinya pencemaran akibat penggunaan bahan kimia pupuk dapat ditekan karena sebagian dari penggunaan pupuk buatan dapat disubstitusi oleh pupuk organik atau kompos. Hasil analisis pupuk kompos dari bahan sampah menunjukkan bahwa setiap ton pupuk kompos memberikan tambahan 12.2 kg N; 3.5 kg P; dan 12.1 kg K (Sebuea dan Moersidi, 1986).
Daur ulang sampah organik juga dapat bersumber dari sisa hasil panen produk pertanian itu sendiri. Bahan pembenah tanah (soil conditioner) yang saat ini telah mulai digunakan di perkebunan kelapa sawit antara lain bahan organik yang berasal dari tandan kosong sawit (TKS) maupun limbah cair kelapa sawit (LCKS) yang merupakan limbah pabrik kelapa sawit (PKS). Bahan pembenah tanah ini selain memperbaiki kesuburan tanah juga beperan secara tidak langsung dalam meningkatkan tanah terhadap erosi. Limbah kelapa sawit berdasarkan lokasi pembentukannya dikelompokkan menjadi limbah lapangan dan limbah pengolahan. Limbah lapangan sebagai contoh, kebun kelapa sawit dapat menghasilkan limbah pelepah daun sebesar 10.4 ton Ha-1 tahun-1. Limbah padat industri kelapa sawit mempunyai kekhasan pada komposisinya. Salah satu jenis limbah padat industri kelapa sawit yang terbesar adalah tandan kosong kelapa sawit. Produksi sawit dari tanda buah segar (TBS) akan dihasilkan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) sebesar 24 – 35% dari TBS (Said, 1996). Pemanfaatan TKKS sebagai pupuk organik melalui teknologi mulsa memerlukan waktu degradasi 6 bulan sampai 1 tahun. TKKS terdekomposisi oleh mikroorganisme tanah secara perlahan memberikan tambahan hara N, P, K, dan Mg ke dalam tanah, dan dapat meningkatkan berat tandan dan produksi kelapa sawit seperti penelitian yang dilakukan pada tanah Psammentic Paleudult. Sifat kimia tanah yang dapat diperbaiki dengan pemberian TKKS pada tanah tersebut adalah perbaikan pH tanah, kadar C dan N, basa-basa tukar K, Ca dan Mg, KTK, Kejenuhan basa, P tersedia, dan menurunkan Aldd (Siahaan, dkk. 1997). Pemanfaatan TKKS sebagai mulsa dilakukan dengan memotong TKKS membentuk chips yang ditaburkan di atas tanah pada lahan kelapa sawit. Dengan cara tersebut kebutuhan pemupukan dari pupuk sintesis berkurang sebanyak 50%.
Selanjutnya dikatakan bahwa pada proses pengolahan minyak sawit kelapa sawit menghasilkan entropi berupa limbah cair yang tidak sedikit. Proses pengolahan kelapa sawit juga menghasilkan limbah ciar yang berasal dari kondensat stasiun klarifikasi dan hidrosiklon. Sebagaimana limbah industri pertanian lainnya, limbah kelapa sawit mempunyai kadar bahan organik yang tinggi. Tingginya limbah cair bahan organik tersebut mengakibatkan beban pencemaran yang semakin besar karena diperlukan proses degradasi bahan organik yang lebih besar. Untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit dihasilkan 2.5 ton limbah cair. Limbah cair ini dapat dikelola melalui proses dekomposisi dengan pembuatan kolam-kolam/bak pada lahan pertanian. Limbah kelapa sawit ini mengandung unsur N, P, K, dan Mg. Penggunaan limbah dari pabrik kelapa sawit untuk pemupukan tanaman mempunyai manfaat dimana pemupukan tanaman dapat dihemat, dan limbah pabrik itu sendiri tidak ada lagi yang mengotori/mencemari lingkungan. Pemberian limbah cair kelapa sawit pada areal perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah terutama pada tanah bertekstur pasir dan sebagai cadangan atau penambah air pada lahan yang sering mengalami kekeringan. Aplikasi limbah cair kelapa sawit pada penelitian di kebun kelapa sawit menunjukkan adanya peningkatan produksi tandan buah segar (TBS) dan rata-rata berat tandan kelapa sawit sebesar 4.1% dan 17.8% dibanding dengan tanpa aplikasi limbah cair ini (Hutahuruk dan Helmut, 1993).
Limbah padat dan limbah cair kelapa saiwt apabila diubah menjadi kompos, tidak saja mengandung nutrien, juga mengandung bahan organik yang dapat berperan dalam perbaikan struktur tanah, terutama pada tanah tropika daerah tropis. Pemanfaatan limbah padat dan limbah cair merupakan bentuk multifungsi lahan pertanian dalam kaitannya dengan pengendalian pencemaran.
Tanah dalam Multifungsi Pertanian
Selain menghasilkan barang yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangiable and marketable), pertanian juga dapat menghasilkan berbagai jenis jasa yang tidak tampak nyata (intangiable). Berbagai jasa atau fungsi positif yang diperankan oleh sektor pertanian dikenal dengan istilah multifungsi pertanian. Multifungsi ini mempunyai sifat non-excludability, yaitu jasa yang dihasilkan dapat dinikmati secara cuma-cuma tidak hanya oleh petani yang menghasilkannya namun juga oleh masyarakat luas. Multifungsi pertanian juga bersifat non-rivalry, yaitu masyarakat dapat menikmati jasa tersebut tanpa harus berkompetisi karena jasa tersebut merupakan milik umum, yang mencakup fungsi lingkungan, ketahanan pangan serta fungsi sosial dan budaya.
Multifungsi pertanian dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran dan lingkungan, antar lain 1) mitigasi banjir, 2) pengendalian erosi dan sedimentasi, 3) penampung sampah organik, 4) penyejuk dan pembersih udara, 5) penambat karbon, dan 6) pemelihara sumberdaya hayati. Agroekosistem sawah dapat berfungsi sebagai filter sedimen dan tanah gambut dapat berfungsi sebagai senyawa kimia yang dapat mengkhelat logam berat, sehingga agroekosistem sawah dan pertanian lahan gambut adalah bentuk usaha tani yang dapat berperan dalam penanggulangan NPS polutan.
Degradasi lahan pertanian yang banyak terjadi sebagai akibat pola penggunaan lahan yang kurang tepat dapat berakibat pada penurunan kuantitas dan kualitas multifungsi pertanian, sehingga multifungsi pertanian tidak dapat dinikmati secara optimal. Salah satu strategi utama untuk mempertahankan multifungsi pertanian adalah dengan meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian. Pencemaran yang bersumber dari lahan kering wilayah atas dapat dilakukan dengan menekan besarnya erosi dan aliran permukaan yang menjadi agen utama pengangkutan NPS dari daerah hulu ke daerah hilir.
Jika dikelola dengan baik, penerapan teknik pengelolaan lahan yang tepat merupakan salah satu cara terpenting dalam mengoptimalkan multifungsi lahan pertanian termasuk dalam hal penanggulangan pencemaran. Penanggulangan pencemaran NPS dapat dilakukan dengan 1) meminimalkan ketersediaan bahan pencemar (source reduction), 2) mengurangi pengangkutan atau penerimaan bahan-bahan pencemar, baik dengan cara mengurangi kemampuan media air untuk mengangkut dan atau dengan mengurangi jumlah polutan yang terangkut, atau mengurangi deposisi dari bahan-bahan pencemar, 3) remediasi atau menjerap bahan-bahan pencemar sebelum atau sesudah bahan-bahan tersebut masuk ke sistem drainase melalui transformasi kimia dan biologi.
Penggunaan pupuk dan pestisida pada lahan kering belum seintensif pada lahan sawah, kecuali pada lahan sayuran, sehingga resiko terjadinya pencemaran yang bersumber dari areal lahan kering lebih banyak disebabkan oleh tingginya kapasitas media pengangkut sebagai akibat belum terkendalinya aliran permukaan dan erosi. Oleh karena itu, prinsip penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kegiatan pertanian lahan kering dapat dilakukan dengan mengendalikan besarnya aliran permukaan dan erosi. Kegiatan konservasi tanah dan air selain memberikan manfaat pada kelestarian produktivitas tanah, juga bermanfaat dalam mengatasi problema pencemaran perairan.
Peranan olah tanah konservasi selain dapat digunakan untuk mengontrol erosi dari areal pertanaman, teknik ini juga memberikan manfaat lain yakni mengontrol beberapa bahan pencemar, misalnya berkurangnya tingkat transport dari unsur fosfor dalam bentuk partikel. Olah tanah konservasi dapat dianggap sebagai alternatif pengolahan tanah yang dapat mengurangi kandungan polutan dalam aliran permukaan dari lahan pertanian. Hasil penelitian pada tanah Ultisols menunjukkan aplikasi mulsa yang merupakan salah satu komponen penting teknik olah tanah konservasi, sangat efektif dalam mengurangi unsur hara yang hilang yang dapat berdampak pada pengurangan sumber pencemar (Tabel 1).

Tabel 1. Dampak dari penggunaan mulsa terhadap unsur hara yang hilang melalui erosi pada pertanaman jagung.
Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa jumlah hara yang hilang pada perlakuan mulsa jerami paling rendah, karena mulsa jerami mampu menghambat aliran permukaan dan mengurangi erosi tanah. Sementara usaha tani sayuran pada lahan kering sangat berpotensi untuk menghasilkan bahan pencemar, karena penggunaan pupuk dan obat-obatan yang relatif tinggi. Resiko terjadinya pengangkutan hara juga menjadi tinggi karena masih banyak petani yang mengelola lahan dengan membuat bedengan searah lereng.
Pengolahan tanah yang konvensional adalah untuk memperbaiki aerasi tanah. Adanya perbaikan porositas tanah harus diwaspadai, karena dapat berdampak pada peningkatan kehilangan hara melalui pencucian khususnya hara yang bersifat mobil seperti nitrogen. Tindakan perbaikan porositas tanah harus disertai oleh manajemen pemberian pupuk dimana pupuk harus diberikan pada saat yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Pengurangan sumber bahan pencemar dari NPS dapat dilakukan dengan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida. Namun, tindakan ini hanya dapat dilakukan pada tingkat tertentu, dimana pengurangan input pertanian secara berlebihan akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan ini akan berpengaruh buruk terhadap ketahanan pangan. Dapat juga dicari alternatif pengganti, misalnya mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik, tetapi kondisi sekarang belum memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik karena masih terbatas ketersediannya. Sumber-sumber pupuk organik yang ada belum dikelola dengan baik, misalnya sampah kota yang bersumber dari sampah pasar dan sampah rumah tangga, bahan organik sisa panen, dan lain-lain.
Tindakan yang saat ini dapat dilakukan selain mempercepat pengelolaan sampah dan bahan organik sisa panen, adalah melakukan perbaikan sistem pengelolaan hara (nutrient management). Hal yang dilakukan dalam pengelolaan hara, yaitu 1) menggunakan pupuk sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai target produksi yang realistis, 2) memperbaiki waktu pemberian pupuk yang tepat; misalnya untuk mengurangi tingkat kehilangan pupuk sebaiknya pupuk diberikan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan tanaman, dan 3) meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Dengan melakukan tindakan-tindakan pengelolaan hara seperti di atas, disamping terjadi efisiensi pemakaian pupuk dalam upaya produksi pertanian, juga dapat menghindari terjadinya pencemaran ke ekosistem luar akibat pemakaian pupuk yang berlebihan.


SAMPAH dan MULTIFUNGSI PERTANIAN (Potensi Bengkulu)


Oleh
Muhammad Faiz Barchia

Selain menghasilkan barang yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangiable and marketable), pertanian juga dapat menghasilkan berbagai jenis jasa yang tidak tampak nyata (intangiable). Berbagai jasa atau fungsi positif yang diperankan oleh sektor pertanian dikenal dengan istilah multifungsi pertanian. Salah satu fungsi dari multifungsi pertanian dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran dan lingkungan, yaitu penampung sampah organik.
Pendaurulangan sampah organik sebagai salah satu bentuk multifungsi pertanian sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Adanya permasalahan sampah yang masih banyak dihadapi oleh berbagai daerah di Indonesia bila tidak didapatkan jalan pemecahannya yang tepat maka sampah kota akan menjadi sumber utama pencemaran. Pembuangan sampah secara terbuka (open dumping) berakibat meningkatnya intensitas pencemaran.
Propinsi Bengkulu dengan jumlah penduduk 1.517.181 jiwa dan dari jumlah tersebut sebagian hidup di ibukota-ibukota kabupaten/kota merupakan potensi penghasil sampah yang cukup besar. Kota Bengkulu saja dengan jumlah penduduk 252.199 jiwa akan mampu menghasilkan sebanyak 370 m3 hari-1, dan dengan tingkat layanan sebesar 35%, maka potensi sampah pada TPA Air Sebakul dapat mencapai 130 m3 hari-1. Sampai saat ini sampah yang dibuat di TPA-TPA di ibukota-ibukota kabupaten/kota Bengkulu belum dikelola dengan cara didaur ulang (recycle) dan digunakan kembali (reuse). Contoh lain adalah di kota Curup, dengan jumlah penduduk 114.516 jiwa maka potensi produksi sampah kota Curup dapat mencapai 212 m3 hari-1 sementara volume sampah terangkut sebesar 83 m3 hari-1. Tentu ini adalah potensi bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan kompos sampah kota.

Kebijakan pengelolaan sampah selama ini lebih berorientasi pada usaha memindahkan sampah yang tersebar ke satu lokasi akhir pembuangan sampah, tanpa proses pemilahan, daur ulang, dan pemanfaatan ulang sampah terlebih dahulu. Konsep reuse dan recycle dalam pengelolaan sampah merupakan konsep yang mengupayakan pemanfaatan kembali sampah atau barang yang tidak berguna, dan pendaurulangan sampah menjadi barang lain yang bernilai ekonomis. Konsep reuse dan recycle merupakan bagian dari konsep zero waste dengan mendirikan tempat pembuatan kompos dan industri kecil daur ulang sampah. Pengelolaan sampah secara terpadu yang melibatkan proses pengomposan, pendaurulangan dan pembakaran (incenerator) dapat mereduksi sampah sampai 96% (Bebasari, 2000).
Optimalisasi fungsi lahan pertanian sebagai tempat pendaurulangan bahan organik akan menghasilkan banyak keuntungan, yaitu dari segi penanggulangan penumpukan sampah maka sekitar 70 – 90% proporsi berat basah dari sampah kota merupakan bahan kompos, ini berarti jumlah sampah yang berpeluang terserap untuk lahan pertanian sangat besar. Selanjutnya, peluang terjadinya pencemaran akibat penggunaan bahan kimia pupuk dapat ditekan karena sebagian dari penggunaan pupuk buatan dapat disubstitusi oleh pupuk organik atau kompos.

Sesungguhnya tanah mineral masam sebagai lahan pertanian membutuhkan suplai bahan organik yang tinggi, dan saat ini kebutuhan bahan organik untuk lahan pertanian semakin meningkat apalagi dengan beralihnya sejumlah petani ke sistem pertanian organik. Pengoptimalan fungsi lahan pertanian sebagai tempat pendaurulangan sampah kota merupakan tindakan tepat, karena proporsi bahan organik dalam sampah kota tergolong tinggi. Sampah kota yang berasal dari tujuah pasar di Jakarta menunjukkan bahwa setelah disortasi mengandung bahan kompos cukup tinggi yakni berkisar antara 70-98% dari total berat basah, dan hasil kompos setelah pengeringan rata-rata mencapai 30% terhadap berat sampah sebelum disortasi atau 37% terhadap berat sampah setelah disortasi.
Daur ulang sampah organik juga dapat bersumber dari sisa hasil panen produk pertanian itu sendiri. Juga, bahan pembenah tanah (soil conditioner) yang saat ini telah mulai digunakan di perkebunan kelapa sawit antara lain bahan organik yang berasal dari tandan kosong sawit (TKS) maupun limbah cair kelapa sawit (LCKS) yang merupakan limbah pabrik kelapa sawit (PKS). Bahan pembenah tanah ini selain memperbaiki kesuburan tanah juga beperan secara tidak langsung dalam meningkatkan tanah terhadap erosi. Juga, jerami sisa panen padi di lahan-lahan sawah telah banyak digunakan oleh petani sebagai bahan pupuk kompos. Aplikasinya di lapangan oleh kelompok tani menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik jerami padi dapat meningkatkan panen padi.


Potensi jerami dan lokasi pembuatan kompos di Propinsi Bengkulu.


Kelayakan Skala Industri
Keberadaan pupuk anorganik di pasaran akhir-akhir ini menjadi langka. Kelangkaan pupuk anorganik di tingkat konsumen salah satu penyebabnya adalah pendistribusian yang tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran, sehingga harga pupuk anorganik subsidi menjadi mahal. Juga keadaan ekonomi Indonesia yang sedang labil sehingga pemerintah terpaksa mengurangi subsidi untuk pupuk anorganik. Semua keadaan ini menyebabkan harga pupuk organik semakin mahal sehingga sangat memberatkan beban petani. Andai saja sistem pertanian kita beralih ke pertanian organik, tentu permasalah di atas tidak akan muncul.
Departemen Pertanian mencanangkan program ”Go Organic 2010”, yang berarti produk pertanian harus dibudidayakan secara organik atau tanaman dipupuk dengan pupuk organik atau kompos. Dapat dibayangkan berapa jumlah kompos yang dibutuhkan jika semua usaha budidaya pertanian harus menggunakan pupuk organik. Program tersebut dapat berhasil jika dirintis dari sekarang.
Bahan baku pupuk organik sangat mudah diperoleh karena memanfaatkan sampah organik. Bahan bakunya bisa ditemukan disekitar kita sehingga produksinya bisa berjalan terus. Dengan demikian, kelangkaan pupuk bisa teratasi dan tentu harganya akan lebih murah.





PESTISIDA DAN POLUSI TANAH

Oleh
Muhammad Faiz Barchia


Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan hama. Lebih dari sepuluh ribu spesies insekta, gulma, nematoda dan penyakit yang dapat menyerang tanaman yang dibudidayakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengubah keseimbangan ke arah yang menguntungkan manusia seperti pemilihan kultivar tanaman agar dapat mengatasi dan melawan gulma, hama dan penyakit tanaman. Penggunaan bahan kimia untuk mengendalian hama telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu seperti penggunaan bubur Bordeaux, campuran kapur dan belerang, larutan arsenik, ataupun insektisida alami. Hampir setiap usaha pertanian sejumlah bahan kimia digunakan untuk memberantas gulma, hama dan penyakit, sehingga saat ini banyak sekali jenis pestisida yang digunakan untuk memberantas gangguan hama dan penyakit terhadap tanaman. Keuntungan sesaat untuk mempertahankan produksi pertanian sudah banyak diperoleh dengan penggunaan pestisida, tetapi beragam masalah lingkungan telah pula ditimbulkannya.
Beberapa masalah yang timbul akibat penggunaan pestisida, yaitu telah munculnya kekebalan pada berbagai organisme hama terutama serangga, sehingga untuk memberantasnya diperlukan dosis yang lebih tinggi, timbulnya sisa-sisa pestisida yang mencemari tanah pertanian dan sistem drainase, dan timbulnya efek merusak dari bahan kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Pemberantasan nematoda pada media persemaian tanaman sering berimplikasi terhadap keragaman flora dan fauna tanah pada media semai tersebut. Penggunaan pestisida untuk memberantas hama atau penyakit tertentu sering mensterilisasi ekosistem tanah, sehingga bakteri dan fungi menurun populasinya di dalam tanah. Pengaruh pestisida cukup serius terhadap mikroorganisme pada mineralisasi nitrogen dan nitrifikasi. Masalah-masalah di atas sampai saat ini belum dapat ditanggulangi, sedangkan tanah yang menjadi media tumbuh tanaman pertanian dan biodiversitas penghuni ekosistem tanah menanggung beban yang amat berat karena telah menjadi tempat terakumulasinya bahan pencemar sisa pestisida.
Pestisida yang banyak digunakan saat ini mencakup insektisida, fungisida, herbisida, nematisida, moluskisida, dan akarisida. Di antara pestisida di atas, herbisisida semakin meningkat setiap tahun seiring dengan usaha peningkatan produksi pertanian. Saat ini penggunaan herbisida di dunia mencapai 49.6% dari volume total pestisida (Merrington, dkk. 2002). Dinamika residu pestisida dalam tanah sangat beragam, ada yang mudah larut dalam tanah, dan ada juga yang dapat difiksasi oleh koloid tanah seperti herbisida Paraquat. Paraquat (1,1’-dimethyl-4,4’-dipyridylium dichloride) merupakan herbisida kontak dari golongan piridin yang digunakan untuk mengendalikan gulma yang diaplikasikan purna tumbuh (Humburg, dkk. 1989). Herbisida paraquat merupakan bagian dari kelompok senyawa bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama di dalam tanah (Sastroutomo, 1992).Paraquat diketahui sebagai senyawa yang sangat toksik, dan keberadaannya di dala tanah sebesar 20 ppm mampu menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani, dkk. 2001).
Herbisida Paraquat bila terdisosiasi akan membentuk kation dalam larutan tanah dan akan difiksasi oleh pertukaran kation pada muatan negatif permukaan koloid tanah. Sebagai herbisida kationik, paraquat akan terionisasi sempurna dalam larutan tanah membentuk kation divalen dengan muatan positif terdistribusi di sekeliling molekul, dan paraquat akan segera teradsorpsi dan menjadi tidak aktif ketika kontak dengan koloid tanah (Muktamar, dkk. 2003). Koloid mineral dan organik tanah adalah komponen aktif tanah yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses adsorpsi dan desorpsi herbisida di dalam tanah dan lingkungan. Ikatan Paraquat yang terdisosiasi dengan koloid berbentuk ikatan kovalen sehingga fiksasi residu herbisida ini sangat kuat, sehingga menjadi tidak aktif di dalam tanah. Paraquat dapat masuk dalam ikatan antar lapisan kristal liat sehingga sangat kuat difiksasi secara kovalen. Afinitas mineral tanah terhadap paraquat sangat tinggi pada konsentrasi paraquat rendah, tetapi dengan semakin tinggi konsentrasinya di dalam tanah dimana kapasitas adsorpsinya telah terjenuhi maka paraquat akan terkonsentrasi pada larutan tanah.
Tingginya konsentrasi paraquat dalam larutan tanah, apabila datang hujan, paraquat akan terbawah oleh aliran perkolasi ke dalam tubuh tanah dan masuk ke dalam sistem drainase sehingga dapat mencemari lingkungan. Adsorpsi herbisida oleh partikel tanah akan menyebabkan herbisida tersebut tidak efektif dalam mengendalikan gulma dan bila akumulasinya di dalam tanah tinggi, maka hal ini merupakan suatu residu yang dapat mencemari lingkungan. Muktamar, dkk (2003) dari penelitiannya pada bahan mineral Ultisol yang memiliki KTK 14.5 cmol kg-1 dan kadar liat 54%, dan pada bahan mineral Entisol berkadar liat 38% dengan KTK 10.5 cmol kg-1 menghasilkan persamaan adsorpsi paraquat seperti berikut :
Y = 0.15 + 1.89X (r2 = 0.99, pada Ultisol)
Y = 1.13 + 0.67X (r2 = 0.92, pada Entisol)
Selanjutnya bila paraquat dicobakan dengan erapan bahan organik akan memberikan persamaan adsorpsi sebagai berikut (Muktamar, dkk. 2004) :
Y = 0.0145 + 0.14X (r2 = 0.91)
Dimana Y = adsorpsi paraquat (cmol kg-1); X = konsentrasi paraquat yang diberikan (mol L-1). Dari kedua persamaan pertama terlihat bahwa paraquat yang diberikan pada tanah Ultisol akan teradsorpsi sempurna pada dosis yang diberikan 0.53 mol L-1 (100 ppm) sampai 1.61 mol L-1 (300 ppm), dan pada Entisol paraquat akan teradsorpsi sempurna antara 0.53 mol L-1 sampai 1.07 mol L-1 (200 ppm). Sementara pada bahan organik walaupun membentuk garis linier terlihat bahwa erapan mengikuti pola isoterm tipe L, yang merupakan bentuk normal isoterm Langmuir yang mewakili afinitas yang relatif tinggi dari adsorben yaitu bahan organik tanah, dan zat terlarut dalam hal ini paraquat dimana pada level awal isoterm dan level off pada saat adsorpsi maksimum. Kapasitas adsorpsi maksimum dicapai pada nilai 7.14 cmol kg-1, sehingga di atas kapasitas ini dimungkinkan pemberian paraquat akan masuk ke dalam sistem larutan tanah. Selanjutnya dikatakan bahwa pada saat konsentrasi herbisida paraquat di dalam larutan kesetimbangan > 0.6 mmol L-1, terdapat erapan yang tidak menggambarkan mekanisme yang jelas. Erapan ini dianggap sebagai refleksi dari mekanisme lain selain adsorpsi seperti chemisorption atau ligan exchange. Sebenarnya model erapan tersebut dapat saja terjadi pada mekanisme diffuse-ion swam.
Sebaliknya, banyak pestisida yang tidak diikat dengan erapan kuat di permukaan koloid tanah, sehingga residu pestisida ini dapat tercuci bahkan sampai ke aliran air bawah tanah atau akuifer. Menurut Suparno (1999), bila herbisida tidak teradsorpsi kuat oleh partikel tanah atau mengalami desorpsi oleh air hujan, maka kemungkinan herbisida tersebut terbawa oleh aliran permukaan menuju air tanah (ground water).
Residu pestisida dengan koefisien erapan rendah akan mudah termobilisasi di dalam tanah. Pergerakan di dalam tanah dapat melalui difusi dan aliran massa. Kebanyakan pergerakan pestisida melalui difusi, tetapi pergerakan melalui aliran massa sangat menentukan penyebaran residu pestisida di dalam tanah. Pergerakan residu pestisida di dalam tanah melalui aliran massa ini sangat dipengaruhi oleh konduktivitas hidrolik tanah dan kelebihan curah hujan atau irigasi. Desorpsi paraquat dapat menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan perairan, sehingga dapat menurunkan kualitas air sebagai sumber kehidupan dan mempengaruhi kehidupan organisme lain yang bukan sasaran. Paraquat di dalam tanah dengan konsentrasi 20 ppm dapat menghambat pertumbuhan bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani, dkk. 2001).
Kebanyakan herbisida yang digunakan saat ini berbahan aktif, glyphosate yang bersifat tidak selektif. Herbisida ini dapat mengendalikan semua gulma melalui beragam mekanisme seperti reduksi klorofil dan karotenoid. Herbisida Glyphosate 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) bersifat sistemik, yaitu pestisida ini dapat terserap ke dalam jaringan tanaman. Karena bersifat sistemik, residu pestisida ini mudah ditranslokasikan oleh tanaman ke daerah perakaran/rizosfer, mikroorganisme di rizosfer akan terganggu keseimbangannya. Penggunaan beragam pestisida dapat merusak populasi mikroorganisme di daerah perakaran. Nodulasi pada kacang-kacangan sering terganggu atau tidak terbentuk nodul karena penggunaan pestisida.
Insektisida merupakan pestisida yang cukup besar diproduksi dan digunakan pada sektor pertanian di Indonesia selain herbisida dan fungisida. Ada tiga golongan insektisida yang terkenal sebelum dan selama ini, yaitu 1) golongan organokhlorin, 2) golongan organofosfat, dan 3) golongan karbamat.
Golongan pestisida organokhlorin ini mempunyai tiga sifat utama, yaitu merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat, dan larut dalam lemak. Pestisida ini merupakan senyawa yang tidak reaktif, bersifat stabil, dan persisten, serta terkenal sebagai ’broad spectrum insectisides’, yaitu jenis pestisida yang paling banyak menimbulkan masalah. Oleh karena itu pestisida golongan organokhlorin di Indonesia tidak diperkenankan lagi untuk dipergunakan pada sektor pertanian. Jenis organokhlorin yang dikenal sebelum ini yaitu DDT, endrin, dieldrin, lindane, aldrin, chlondane.
Golongan insektisida organofosfat digunakan sebagai pengganti DDT setelah adanya pelarangan terhadap DDT di Indonesia. Golongan pestisida ini sangat potensial, bersifat selektif dan efeknya cepat, tidak menimbulkan toleransi pada serangga apabila diberikan dengan takaran, cara dan saat yang tepat, serta irreversible, artinya enzim cholinestesarase yang terikat pestisida ini tidak dapat berfungsi normal kembali tanpa dipisahkan ikatannya dari organofosfat. Oleh karena itu pestisida ini mempunyai sifat lebih toksik terhadap manusia daripada pestisida golongan organokhlorin walaupun golongan organofosfat dapat dinonaktifkan (deaktifasi) di lingkungan (Ahmadi, 1994). Golongan organofosfat diantaranya adalah parathion, malathion, syntox, chlorthion, decaptan, diazinon, dan phosdrin.
Pestisida golongan karbamat merupakan derivat asam karbonik dengan rumus RHNCOOR. Sifat pestisida ini mirip dengan pestisida golongan organofosfat, tidak berakumulasi dalam sistem kehidupan, tetap agak cepat menurun. Toksisitasnya bermacam-macam adalah yang lebih kecil dari DDT dan ada juga yang lebih besar empat kali DDT. Penggunaan pestisida ini sudah cukup luas, baik pada bidang pertanian maupun bidang kesehatan masyarakat. Jenis golongan karbamat antara lain furadan, ferban, baygon, carbaryl (Sevin).
Namun, saat ini penggunaan pestisida telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah pertama adalah timbulnya kekebalan pada berbagai organisme hama, sehingga untuk memberantasnya memerlukan dosis yang lebih tinggi; kedua, timbulnya residu pestisida yang mencemari lingkungan; dan ketiga, timbulnya efek merusak dari bahan kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Banyak pestisida yang dikembangkan saat ini bersifat selektif terhadap target gulma, hama dan vektor penyakit, tetapi hampir tidak mungkin pestisida tersebut tidak kontak dengan non target, bahkan petani pemakai sendiri dapat terkena dampaknya. Pada umumnya petani sering menggunakan pestisida bukan atas dasar keperluan secara indikatif, tetapi mereka menjalankan cara ’cover blanket system’, yaitu ada atau tidak ada hama tanaman tetap dilakukan penyemprotan dengan pestisida yang membahayakan dan teknik penyemprotan yang tidak memenuhi standar prosedur yang benar. Terhadap manusia lainnya, bahwa pestisida yang disemprotkan pada tanaman pangan akan meninggalkan residu dalam tanaman sehingga dapat mempengaruhi hewan atau manusia yang mengkonsumsinya.
Pestisida yang diaplikasikan dalam produksi pertanian dapat berimplikasi pada perubahan keseimbangan ekologi tanah, baik merusak organisme non target maupun merubah karakteristik fisiko-kimia tanah yang berimplikasi pada komposisi organisme tanah.Tanah yang menjadi tempat tumbuh dan hidupnya organisme menanggung beban yang amat berat karena dapat menjadi tempat terakumulasinya residu pestisida. Aplikasi pestisida dilakukan dengan memberikannya ke tanah, dan ke tanaman melalui penyemprotan. Pestisida yang disemprotkan pada tanaman dapat terakumulasi ke tanah karena kelebihan penyemprotan, aliran melalui batang tanaman, translokasi dalam jaringan tanaman ke tanah melalui akar atau dari sisa tanaman. Menurut Rasyidi (2008) pestisida merupakan sumber dari non point source (NPS) pollutants yang digunakan dalam budidaya pertanian dan dapat menyisakan residu dalam tanah, tanaman, dan air. Air hujan dapat melarutkan pestisida yang tertahan dalam permukaan tajuk tanaman, cabang dan ranting, selanjutnya mengalir ke permukaan tanah. Melalui peristiwa infiltrasi, larutan pestisida tersebut dapat masuk ke dalam tanah, dan/atau terbawa aliran permukaan, yang selanjutnya masuk ke dalam sungai atau badan air lainnya, dan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Sayuran merupakan komoditas dengan penggunaan pestisida relatif tinggi dibanding komoditas lainnya. Hasil peneliti Abdul-Muti, dkk (2000) memperlihatkan tanah pada budidaya sayuran diketahui mengandung residu pestisida yang berbahaya seperti BHC, endosulfan, dan dieldrin (senyawa organoklorin), klorpirifos (organofosfat), dan karbonfuran (karbamat) (Tabel 3).

Tabel 3. Residu bahan aktif pestisida di dalam tanah pada pertanaman sayuran dataran tinggi Pangalengan (Abdul-Muti, dkk. 2000)
1) BHC; 2) Klorpirifos; 3) Endosulfan; 4) Karbofuran; 5) Dieldrin

Di antara berbagai macam pestisida, ada beberapa jenis yang resisten atau sukar terdegradasi dengan paruh waktu (half time) lama, sehingga residu pestisida tersebut dapat bertahan lama di dalam tanah dan tanaman. Beberapa penelitian membuktikan bahwa residu pestisida dari senyawa organoklorin, seperti lindan, aldrin, dieldrin, heptaklor, DDT, dan endrin masih ditemukan di dalam tanah dan air, meskipun jenis-jenis insektisida tersebut sebenarnya sudah dilarang kecuali endosulfan yang masih dipergunakan sampai sekarang. Hal tersebut membuktikan bahwa insektisida dari senyawa organoklorin sangat resisten, padahal penggunaannya telah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu. Tingkat persistensi insektisida organoklorin dapat mencapai 30 tahun. Abdul-Muti, dkk (2000) mendapatkan adanya residu bahan aktif pestisida dengan kandungan yang umumnya telah melampaui batas ADI (acceptable daily intake) di dalam tanaman seperti kentang, tomat, kubis, dan cabe.

PEMUPUKAN BERIMBANG

Oleh
Muhammad Faiz Barchia


Sebagian besar lahan pertanian terutama tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut mempunyai tingkat kesuburan dan pH tanah rendah serta peka terhadap erosi, tetapi beragam jenis tanaman pangan, sayur-sayuran dan tanaman tahunan dapat tumbuh baik dengan potensi hasil cukup tinggi. Waktu penanamannya disesuaikan dengan pola curah hujan setempat dan kebutuhan air masing-masing jenis tanaman. Beberapa jenis tanaman sayuran memperlihatkan potensi hasil yang baik pada tanah Ultisols antara lain tomat, kacang panjang, terung, cabe, caisin, dan kangkung darat (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil tanaman sayuran pada tanah Ultisol Way Abung, Lampung (Ismail, dkk. 1984).


Produktivitas tanah Ultisols yang rendah ini harus diiringi dengan pemupukan yang berimbang untuk mendapat hasil yang optimum. Bila tidak dilakukan perbaikan kesuburan tanahnya, produksi tanaman yang diusahakan pada tanah tropika ini sangat rendah. Hal ini terlihat dari produktivitas tanaman pangan yang ditanam pada tanah Ultisols Sitiung tanpa perlakuan pemupukan yang dilakukan petani dan model yang dicobakan dengan pemupukan berimbang. Konsep pemupukan berimbang harus diterapkan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan hara tanaman.
Sifat tanah ini yaitu tingkat kesuburan rendah seperti kandungan bahan organik yang sangat rendah, kekurangan fosfat dan memperlihatkan keracunan aluminium. Hasil tanaman yang sangat rendah seperti yang dilakukan oleh petani, dan dilakukan pemupukan yang berimbang dengan pengapuran 2 ton ha-1 pemupukan N 200 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl ha-1 seperti pada Tabel 2 (Syaiful, dkk. 1984).
Pemupukan berimbang adalah upaya untuk meningkatkan mutu intensifikasi dengan menambah jenis dan takaran pupuk, karena sejauh ini upaya pemupukan belum mampu mencapai produksi yang ditargetkan, suatu petunjuk bahwa efisiensi pemakaian pupuk semakin menurun.

Tabel 2. Hasil tanaman pola petani di Sitiung (ton ha-1)(Syaiful, dkk. 1984)
Salah satu sebab tidak efisiennya pemupukan adalah kurangnya perawatan sumberdaya tanah sehingga kesuburannya merosot, baik dari segi kimia, fisik dan biologi tanah. Pertumbuhan optimal tanaman sangat memerlukan ketersediaan hara, terutama unsur hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan S, sebaliknya pertumbuhan tanaman akan terhambat apabila unsur hara ini tidak tersedia atau kelarutannya rendah sehingga tidak tersedia tepat waktu, atau karena tidak seimbang dengan unsur-unsur lain.
Pemupukan perlu dilakukan secara rasional sesuai dengan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah menyediakan unsur-unsur hara, sifat-sifat tanah, dan pengelolaan oleh petani. Kelebihan pemberian pupuk selain merupakan pemborosan, juga mengganggu keseimbangan unsur-unsur hara dalam tanah, sedangkan pemberian terlalu sedikit tidak akan memberikan produksi yang optimal. Seperti terlihat bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit pada umur 3 – 13 tahun dari beberapa wilayah, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Utara dan Riau masih di bawah produktivitas baku lahan kelas kesesuaian lahan S-3 (Tabel 3). Persentase total produksi rata-rata di Kalimantan baru sekitar 60 persen, dan di Sumatera baru mencapai 70 persen dari potensi produksi baku lahan kelas S-3. Produksi standar kelas kesesuaian lahan S-3 untuk kelapa sawit umur 3 – 13 tahun sebesar 226.8 ton tandan buah segar per hektar (Poeloengan, dkk. 2001). Produktivitas kelapa sawit pada tanah tropika yang dikelola oleh perusahaan jauh lebih tinggi dibanding dengan hasil yang dikelola oleh petani. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, teknologi, tenaga, dan modal dari petani yang mengusahakan tanaman tersebut. Hasil kelapa sawit yang senjang antara produktivitas di perkebunan inti dikelola langsung oleh perusahaan perkebunan swasta besar dan plasma yang dikelola oleh petani terlihat nyata dari kebun kelapa sawit di Sumatera Utara seperti disajikan pada Tabel 3. Bahkan pada puncak produksi pada tahun ke-9 umur tanaman kelapa sawit, pada perkebunan inti hasil dapat mencapai 27.6 ton TBS ha-1tahun-1, pada kebun plasma hanya berproduksi 13.6 ton TBS ha-1tahun-1, atau sekitar 50% dari produksi kebun inti (Tabel 4).

Tabel 3. Perbandingan produktivitas kelapa sawit pada tanah tropika dan tanah kesesuaian kelas S-3 (Poeloengan, dkk. 2001)
Pemupukan yang berimbang perlu dilakukan sehubungan dengan tingkat kesuburan dan produksi yang rendah sehingga produktivitas tanah tropika dapat ditingkatkan. Prinsip pemupukan berimbang bertujuan untuk mencapai pemupukan yang efektif dan efisien. Dosis pupuk yang berimbang dibuat atas dasar beberapa pertimbangan antara lain; 1) jumlah hara yang terangkut oleh hasil panen, 2) jumlah hara yang terimmobilisasi dalam batang, cabang, pelepah/daun, 3) jumlah hara yang dikembalikan ke dalam tanah, 4) jumlah hara yang terfiksasi dan hilang dalam tanah, dan 5) jumlah hara yang tersedia dalam tanah.Sebagian besar tanah-tanah tropika yang telah diusahakan secara intensif biasanya berkadar bahan organik rendah terutama apabila sisa panen diangkut keluar atau dibakar.

Tabel 4. Produktivitas kelapa sawit pada kebun inti dan plasma (Poeloengan, dkk. 2001)

Penggunaann pupuk anorganik secara terus menerus pada lahan pertanian sementara bahan organik sisa panen tidak didaurulangkan menyebabkan penurunan secara bertahap produktivitas tanah. Dalam penentuan takaran dan waktu pemberian pupuk K, perlu dipertimbangkan pengelolaan bahan organik sisa panen, karena sebagian besar K yang diserap tanaman berada dalam sisa panen. Hampir 80% K yang diserap tanaman tertinggal pada sisa panen sehingga pengembalian sisa panen ke tanah dapat menngurangi keperluan pupuk K.
Selanjutnya dalam kaitan dengan pemupukan P, bahwa kekahatan P pada tanah tropika merupakan pembatas utama. Efisiensi pupuk P sangat rendah yaitu hanya sekitar 10 - 15% P yang diberikan dapat dimanfaatkan oleh tanaman, dan sisanya difiksasi oleh Al dan Fe. Usaha untuk mengurangi fiksasi P ini adalah dengan penambahan bahan organik, pengapuran, penggunaan jenis pupuk yang melepaskan P secara lambat seperti pupuk alami P. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan efisiensi pengapuran terutama pada kedele, bahkan pemberian bahan organik dapat meniadakan kebutuhan kapur.
Pemberian kapur ditujukan untuk mensuplai kebutuhan hara Ca dan Mg yang ketersediaannya rendah tanah tropika. Pengaruh pengapuran, pemupukan P dan Mo pada tanaman kedele varietas Orba di Bandarjaya Lampung disajikan pada Tabel 10.5 berikut ini. Pada tanah tropika selain ditemukan kahat P, juga sering ditemukan gejala kekurangan Mo terutama pada tanaman legum, sehingga perlakuan yang perlu diberikan pada tanah tropika untuk pertanaman kacang-kacangan yaitu pengapuran, pemupukan P dan unsur mikro Mo, sementara pupuk N diberikan dalam jumlah yang sedikit sekedar untuk merangsang aktivitas bakteri Rhizobium dalam menfiksasi N dari udara.

Tabel 5. Pengaruh pengapuran, fosfat, molibdem terhadap hasil kedele (CRIA-IRRI, 1978).
Tabel 6. Kebutuhan pupuk untuk pengelolaan terus menerus di tanah Ultisol (Sanchez, dkk. 1982).



Cara pemberian kapur ke dalam tanah sangat mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pengapuran. Pemberian kapur secara larikan sangat efektif dibanding dengan cara disebar, dan pada lahan kering daerah tropik yang banyak hujan, kapur yang diberikan secara disebar di permukaan tanah akan cepat hilang karena terbawa aliran permukaan.Kenampakan hasil tanaman kedele yang dikapur secara larikan dan disebar dapat disajikan dalam persamaan berikut ini (Basa, dkk. 1984):
Secara larikan
Y1 = 5.12.5 + 1.87 x – 0.002 x2
Secara disebar
Y2 = 559 + 0.179 x – 0.0003 x2
Dari persamaan di atas dapat dinyatakan bahwa dosis kapur sebesar 400 kg ha-1 yang diberikan secara larikan tidak memberikan hasil berbeda dengan 2 ton ha-1 kapur yang disebar. Berdasarkan persamaan kuadratik di atas (Y1), dosis kapur maksimum untuk kedele dengan cara dilarik adalah 322 kg ha-1, dan hasil kedele adalah 0.8 ton ha-1, sedangkan dengan persamaan Y2 pengapuran dengan dosis 2.98 ton ha-1 secara disebar akan memberikan hasil sebanyak 0.83 ton ha-1 biji kering. Angka ini menggambarkan bahwa dosis kapur tinggi 2.98 ton ha-1 dengan cara disebar dan dosis kapur rendah 0.32 ton ha-1 dengan cara larikan tidak memberikan perbedaan yang nyata.
Oleh sebab itu, tindakan perbaikan lingkungan tumbuh dengan menambah bahan organik atau mengembalikan sisa panen harus dilakukan terlebih dahulu sebelum berbagai jenis pupuk anorganik diberikan. Tanah yang miskin bahan organik akan berkurang daya menyangga dan berkurang keefisienan pupuk yang diberikan karena sebagian besar pupuk hilang dari lingkungan perakaran. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk meningkatkan kadar bahan organik tanah sangat penting agar pupuk yang diberikan dapat diserap tanaman seefisien mungkin dan produktivitas tanah meningkat.





EVOLUSI KARBON TANAH

Oleh
Muhammad Faiz Barchia



Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke udara. Ada dua proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu dekomposisi bahan organik tanah dari humus, dan dekomposisi dari sisa tanaman yang ditambahkan. Laju dekomposisi karbon organik tahunan rata-rata 3% di daerah perladangan (Nye dan Greenland, 1959). Perubahan bahan organik tanah pada Oxisols yang ditanami terus menerus selama 5 tahun, separuh dari bahan organik tanah akan mengalami dekomposisi, dan penurunan yang paling tajam terjadi pada tahun pertama perladangan.
Sekitar 2 sampai 5% dari karbon humus terdekomposisi setiap tahunnya, tetapi kehilangan humus ini diimbangi oleh adanya suplai bahan organik dari vegetasi penutupnya. Jumlah CO2 yang hilang karena aktivitas heterotrop diimbangi oleh suplai bahan humus yang terbentuk dari resintesis akar, seresah dan bagian tanaman yang mengalami pelapukan lainnya. Laju evolusi CO2 dari bahan organik tanah berkisar dari 5 sampai 50 mg CO2 kg-1 hari-1, dan dapat juga mencapai 300 mg CO2 kg-1 hari-1 dari uji laboratorium pada kisaran temperatur 20 – 300C. Di lapangan laju evolusi CO2 hanya berkisar 0.5 sampai 10 g CO2 m-2 hari-1, dan dapat juga mencapai 25 g CO2 m-2 hari-1 (Alexander, 1977). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi humus adalah pengolahan tanah, temperatur, kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Laju evolusi CO2 yang paling besar ada di permukaan tanah dimana terdapat konsentrasi sisa tanaman yang paling tinggi. Semakin dalam ke profil tanah, laju produksi CO2 menurun, dan pada kedalaman 50 cm atau lebih evolusi CO2 sudah sangat terbatas.
Sementara laju respirasi dalam melepaskan karbon jauh lebih rendah dari serapan karbon oleh tanaman. Laju respirasi pada tanaman karet rata-rata 2.2 mg kg-1menit-1 pada temperatur 320C. Laju respirasi pada tanaman sawit pada temperatur 300C sekitar 0.5 mg CO2 kg-1menit-1 (Corley, 1983), dan selanjutnya dikatakan bahwa laju respirasi pada sawit sebesar 0.5 mg CO2 kg-1menit-1 pada temperatur 200C sampai 1.2 mg CO2 kg-1menit-1 pada temperatur 400C.
Perusakan atau perubahan tata guna lahan dapat dianggap sebagai penyebab pelepasan CO2 yang tersimpan di tanah ke atmosfer. Apabila hutan ditebang maka tanah akan menjadi sumber pelepasan CO2. Laju respirasi pada lahan hutan lebih rendah dibandingkan dengan laju respirasi pada lahan alang-alang 5 tahun dan > 10 tahun. Laju respirasi rata-rata pada tanah hutan sebesar 3.03 g m-2 hari-1, sementara lahan alang-alang 5 tahun sebesar 11.32 g m-2 hari-1 dan lahan alang-alang > 10 tahun sebesar 9.85 g m-2 hari-1 (Yuniar, 2002). Pada pertanaman mangium umur 10 tahun laju pelepasan CO2 sebesar 5 – 8 g m-2 hari-1 dan pada pertanaman mangium umur 5 tahun laju pelepasan CO2 adalah 9 – 12 g m-2 hari-1, sebaliknya pada lahan terbuka laju pelepasan CO2 mencapai 10 – 14 g m-2 hari-1 (Agus, 1997). Laju pelepasan CO2 di bawah beberapa tegakan hutan ditampilkan oleh Novita-Aini (2007) dimana di bawah tegakan hutan sekunder, pertanaman campuran kemiri dengan kopi, monokultur, kemiri, monokultur kopi, dan alang-alang berturut-turut adalah 4,55; 5.10; 4.85; 5.00, dan 5.60 g m-2 hari-1. Disini terlihat bahwa semakin terbuka lahan diiringi dengan peningkatan laju pelepasan CO2, seperti hutan sekunder laju pelepasan CO2 hanya 4.55 g m-2 hari-1, sebaliknya padang alang-alang laju pelepasan CO2 tertinggi, yaitu 5.60 g m-2 hari-1. Pelepasan karbon dari lahan alang-alang lebih tinggi dibanding dari hutan primer, hutan sekunder, kebun karet dan ladang berpindah.
Pengolahan tanah pada tanah lempung berpasir yang awalnya berupa tegakan hutan mengandung 2.30% bahan organik, turun menjadi 1.59% setelah pengolahan 3 tahun untuk usaha pertanian. Penggunaan tanah tropika yang intensif telah menurunkan kandungan bahan organik tanah di Chacra Brazil dari 2.13% menjadi 1.55% C-org (Sanchez, 1983). Setelah 4 tahun penanaman dengan tanaman singkong bahan organik tanah pada tanah Ultisols lampung turun dari 4.37 menjadi 2.80% C-organik (McIntosh dan Suryatna, 1978).
Di wilayah hutan tropika jatuhan seresah jauh lebih besar dibanding di wilayah hutan beriklim sedang. Bahan organik berupa seresah tanaman yang jatuh ke tanah akan cepat mengalami dekomposisi dan melepaskan unsur anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman, tererosi, tercuci maupun terlepas ke udara. Kira-kira setengah dari bahan kering seresah termineralisasi dalam waktu 8 – 10 minggu, setelah itu laju dekomposisi menurun. Selama dekomposisi di bulan pertama, kira-kira 80% kalium yang terikat dalam bentuk organik terdekomposisi. Bahan organik dari sisa rumput-rumputan, 70% dari berat kering akan terdekomposisi selama 3 bulan, dan sisanya yang sukar lapuk dapat mencapai 8 tahun.
Laju dekomposisi sisa tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman dimana senyawa protein yang kaya nitrogen akan mudah terdekomposisi. Protein akan terdekomposisi membentuk asam amino. Laju metabolisme yang menggunakan asam amino tergantung pada rasio C:N dalam jaringan tanaman. Jika rasio C:N yang tersedia lebih besar dari 25, semua asam amino akan dimanfaatkan oleh dekomposer, dan asam amino akan dimineralisasi membentuk amoniak, dan kemudian amoniak akan ternitrifikasi membentuk nitrat.
Lingkungan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme heterotrop cenderung seiring dengan laju evolusi karbon dalam tanah. Aktivitas mikroorganisme heterotrop sangat tinggi pada wilayah tropika basah, sehingga laju pelepasan karbon dari wilayah ini cenderung lebih tinggi dibanding dari wilayah beriklim dingin. Semua karakteristik tanah seperti pH, Eh, temperatur, potensial air, struktur tanah, aerasi akan mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Tipe vegetasi mengandung keragaman struktur senyawa penyusunnya, sehingga kualitas sisa tanamannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas dari bahan organiknya. Indeks yang sering digunakan untuk menentukan kualitas bahan organik yang berkaitan dengan laju dekomposisi adalah C:N rasio. Nilai C:N rasio tanah relatif konstan pada kisaran 8:1 sampai 15:1 dengan rata-rata 10:1 sampai 12:1 (Prasad dan Power, 1997). Perbandingan C:N sangat menentukan apakah bahan organik akan termineralisasi atau sebaliknya nitrogen yang tersedia akan terimmobilisasi ke dalam struktur sel mikroorganisme. Karena C:N rasio pada tanah relatif konstan maka ketika residu tanaman ditambahkan ke dalam tanah yang memiliki C:N rasio relatif besar, residu tanaman akan terdekomposisi dan meningkatkan evolusi CO2 ke atmosfer, dan sebaliknya akan terjadi depresi pada nitrat tanah karena immobilisasi oleh mikroorganisme.
Pada lahan hutan pada umumnya mempunyai C:N rasio lebih tinggi bila dibanding C:N rasio pada lahan yang diubah menjadi agroekosistem. Tingginya rasio C:N pada lahan hutan ini mencerminkan kualitas substrat yang terurai relatif rendah, karena kualitas substrat yang rendah mencerminkan laju respirasi yang rendah pula. Rendahnya laju pelepasan karbon pada lahan hutan dibanding pada alang-alang ini disebabkan bahwa tingginya rasio C:N pada lahan hutan berkisar 13 – 16, sementara pada lahan alang-alang 5 tahun berkisar 9 – 11, dan alang-alang > 10 tahun berkisar 10 – 13. Hubungan antara C:N rasio dengan laju pelepasan karbon dalam bentuk CO2 melalui persamaan regresi memiliki nilai r2 = 0.78 nyata (Yuniar, 2002).
Beragam faktor yang menentukan laju dekomposisi bahan organik tanah, dan faktor iklim merupakan faktor yang paling berperan dalam proses dekomposisi. Di saat temperatur dan kelembaban meningkat, maka proses dekomposisi bahan organik akan semakin cepat. Hal ini juga yang menyebabkan bahwa bahan organik pada tanah tropika di daerah tropis jarang terakumulasi karena faktor iklim sangat optimum bagi aktivitas mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi sisa tanaman. Sehingga banyak peneliti menyusun beragam faktor lingkungan yang mempengaruhi laju dekomposisi di daerah tropis, yaitu curah hujan > temperatur > pH > kandungan liat tanah, sementara Jenni menyusun faktor pembentuk tanah yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik, yaitu iklim > vegetasi > topografi > bahan induk > umur tanah.
Vegetasi akan memproduksi biomassa dan sisa biomassa ini adalah sumber bahan organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah. Setiap vegetasi akan menghasilkan kualitas biomassa yang berbeda. Kualitas bahan organik tanah berupa susunan senyawa penyusun bahan organik akan menentukan kecepatan bahan organik mengalami pelapukan. Beragam fraksi karbon, nitrogen, dan fosfat yang merupakan makanan dan sumber energi bagi aktivitas mikroorganisme akan dimanfaatkan oleh organisme tersebut sebelum dilepas ke sistem tanah dan udara. Fraksi karbon dari molekul organik sisa tanaman, binatang dan mikroorganisme seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta banyak molekul lain yang mengandung unsur hara esensial seperti nitrogen pada protein, peptida, asam amino, asam nukleat, chitin, mukopeptida, dan gula amino sebagai sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme. Juga, fosfor yang tersusun pada asam nukleat, fosfolipid, fitin, dan sulfur yang terikat pada asam amino metionin, sistein, dan protein, tidak tersedia bagi tanaman adalah sumber makanan sebelum mengalami dekomposisi di dalam tanah.
Dekomposisi molekul organik seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin hanya dapat terjadi jika di dalam tanah tersedia unsur hara lain yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Jika suplai unsur hara tidak tersedia untuk aktivitas mikroorganisme perombak, maka proses dekomposisi akan mengalami hambatan. Unsur hara yang tersedia akan diimmobilisasi oleh mikroorganisme, dan hanya unsur hara yang tidak terimmobilisasi yang dapat diambil oleh tanaman untuk pertumbuhannya.


RAPUHNYA AGROEKOSISTEM SAWIT

RAPUHNYA AGROEKOSISTEM SAWIT
Oleh
Muhammad Faiz Barchia


Degradasi lahan dan erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sifatnya mendasar dan menonjol di tanah tropika lahan kering untuk pertanian tanaman pangan. Erosi merupakan penyebab utama kerusakan lahan dan lingkungan. Permasalahan degradasi lahan dan beratnya erosi disebabkan oleh 1) curah hujan yang mempunyai nilai erosivitas tinggi, 2) tanah peka erosi, 3) kemiringan lereng melebihi batas kemampuan lahan untuk tanaman pangan, 4) cara pengelolaan tanah dan tanaman yang salah termasuk kebiasaan membakar dan cara pembukaan lahan yang salah, dan 5) tindakan konservasi lahan yang belum memadai. Faktor lain yang mempercepat kerusakan lahan yaitu merosotnya kadar bahan organik karena pembakaran sisa tanaman dan pencucian hara. Permasalahan degradasi lahan dapat dihindari dengan pencegahan erosi sedini mungkin sejak lahan dibuka, perbaikan cara pembukaan lahan, program penggunaan lahan disesuaikan kemampuan lahan, dan dihindarkan pembukaan daerah yang tidak layak untuk pertanian.
Ekosistem yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai wilayah ekstensifikasi agroekosistem adalah lahan kering beriklim basah yang banyak tersebar di pulau-pulau besar di Indonesia. Tanah ini menempati 43, 5% dari luas pulau Sumatera, 30% dari luas Kalimantan, 23% dari wilayah Papua, dan 10% dari luas Sulawesi (Sudjadi, 1984).
Lahan kering beriklim basah yang tersebar luas itu umumnya berjenis tanah tropika, yang memiliki berbagai kendala keharaan, peka erosi dan cepat mengalami degradasi bila dikelola tanpa usaha-usaha konservasi yang tepat (Partohardjono, dkk. 1988). Kesuburan alamiah tanah ini sangat tergantung pada kandungan bahan organik lapisan atasnya, dan bersifat tidak mantap dimana kadarnya menurun dengan cepat setelah pembukaan lahan.
Sebagian besar wilayah ekstensifikasi pertanian selama ini terletak pada tanah tropika yang ditutupi hutan dan sebagian kecil bervegetasi semak dan alang-alang. Ekosistem daerah hutan hujan tropika umumnya merupakan ekosistem yang sudah sangat mantap. Namun, dengan adanya pembukaan lahan untuk ekstensifikasi mengakibatkan perubahan yang luar biasa pada masukan-keluaran hidrologi, erosi, iklim mikro, dan produksi biomassa. Perubahan dari hutan tropika basah menjadi perkebunan monokultur kelapa sawit akan menimbulkan masalah segera setelah pembukaan lahan seperti ketika daur hara pada sistem siklus tertutup menjadi terputus oleh adanya perubahan tegakan biomassa. Penurunan produksi biomassa akan menurunkan produktivitas tanah bila tidak ada tindakan konservasi lahan. Penurunan produktivitas ini diakibatkan oleh menurunnya rezim kelembaban tanah, meningkatnya erosi, dan menurunnya kualitas fisik dan kimia tanah.
Penurunan kualitas fisik dan kimia tanah, atau degradasi tanah dipengaruhi oleh agroekologi seperti kualitas tanah, daya lenting tanah, iklim; dan agrososial yaitu tekanan penduduk, kemiskinan. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia 60% tanahnya menempati tanah Ultisols memiliki kualitas yang rendah dimana pH tanah < 5, KTK tanah rendah, <15 me g-1, C-organik < 1%, cadangan mineral rendah, tingkat erodibilitas dan pencuciannya sangat tinggi (Adiwiganda, dkk. 1997). Pengelolaan tanah tropika untuk perkebunan kelapa sawit di tingkat plasma dihadapkan pada permasalahan adopsi teknologi yang tidak baku teknis karena keterbatasan pengetahuan dan daya beli agro-input yang rendah. Produktivitas puncak kebun sawit dicapai pada tahun ke-9 umur tanaman, pada perkebunan inti hasil dapat mencapai 27.6 ton TBS ha-1tahun-1, sedangkan pada kebun plasma hanya berproduksi 13.6 ton TBS ha-1tahun-1, atau sekitar 50% dari produksi kebun inti (Poeloengan, dkk. 2001). Rendahnya produktivitas pada kebun plasma disebabkan kualitas sumberdaya petani plasma dan kemampuan swadayanya yang rendah. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia rentan terhadap degradasi dan kelas kesesuaian lahannya termasuk S-3. Setelah 12 tahun pembukaan perkebunan kelapa sawit di PTP Mitra Ogan Sumatera Selatan terjadi penurunan kandungan bahan organik yang sangat signifikan, yaitu pada tanah Podsolik Kromik yang awalnya kandungan C-organik rata-rata sebesar 2.21% turun menjadi 1.68 – 1.87%, dan pada Podsolik Plintik dari 2.27% menjadi 1.37 – 1.50% (Iswati, 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa setelah 12 tahun pembukaan kebun kelapa sawit terjadi penurunan kelas kesesuaian lahan dari S-2 menjadi S-3 dan N; dari S-3 menjadi N atau tetap S-3 tetapi bertambah faktor pembatasnya. Perubahan kelas kesesuaian lahan akibat pembukaan kebun kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.


Keterangan: *) Sumber: Deptrans (1990/1991); w = ketersediaan air,
r = media perakaran, f = retensi hara, n = hara tersedia

Dari Tabel 1 terlihat bahwa setelah 12 tahun pengelolaan kebun kelapa sawit oleh petani terlihat terjadi penurunan kualitas lahan karena menurunnya kandungan bahan organik tanah dan ketersediaan hara kanah karena kation-kation basa tercuci, diserap tanaman dan terangkut oleh hasil panen. Pemupukan yang dilakukan dalam pengelolaan kebun ini kurang tepat karena dosis pupuk yang diberikan baru 50% dari dosis yang dianjurkan, waktu pemupukan 2/3 dosis pupuk semuanya diberikan pada awal musim hujan, dan disebar di atas permukaan piringan sehingga memungkinkan kehilangan melalui penguapan dan pencucian (Iswati, 2006). Mengingat restorasi kesuburan tanah terdegradasi memerlukan waktu yang sangat lama maka pengelolaan yang tepat perlu mendapat perhatian.
Upaya pengelolaan kebun kelapa sawit yang tepat, terpadu, dan berkesinambungan merupakan upaya yang mutlak dilakukan. Menjaga permukaan tanah tetap tertutup baik secara vegetatif maupun aplikasi bahan pembenah tanah dari sisa panen, pemupukan yang rasional, dan membuat bangunan konservasi tanah dan air (Poeloengan, dkk. 2001), sehingga degradasi tanah dapat ditahan, dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan ke arah potensi hasil sesuai dengan kelas kemampuan dan kesesuaian lahannya.