EVOLUSI KARBON TANAH
Oleh
Muhammad Faiz Barchia
Muhammad Faiz Barchia
Mikroorganisme tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 ke udara. Ada dua proses dekomposisi yang terjadi pada bahan organik tanah, yaitu dekomposisi bahan organik tanah dari humus, dan dekomposisi dari sisa tanaman yang ditambahkan. Laju dekomposisi karbon organik tahunan rata-rata 3% di daerah perladangan (Nye dan Greenland, 1959). Perubahan bahan organik tanah pada Oxisols yang ditanami terus menerus selama 5 tahun, separuh dari bahan organik tanah akan mengalami dekomposisi, dan penurunan yang paling tajam terjadi pada tahun pertama perladangan.
Sekitar 2 sampai 5% dari karbon humus terdekomposisi setiap tahunnya, tetapi kehilangan humus ini diimbangi oleh adanya suplai bahan organik dari vegetasi penutupnya. Jumlah CO2 yang hilang karena aktivitas heterotrop diimbangi oleh suplai bahan humus yang terbentuk dari resintesis akar, seresah dan bagian tanaman yang mengalami pelapukan lainnya. Laju evolusi CO2 dari bahan organik tanah berkisar dari 5 sampai 50 mg CO2 kg-1 hari-1, dan dapat juga mencapai 300 mg CO2 kg-1 hari-1 dari uji laboratorium pada kisaran temperatur 20 – 300C. Di lapangan laju evolusi CO2 hanya berkisar 0.5 sampai 10 g CO2 m-2 hari-1, dan dapat juga mencapai 25 g CO2 m-2 hari-1 (Alexander, 1977). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi humus adalah pengolahan tanah, temperatur, kelembaban tanah, pH, kedalaman dan aerasi tanah. Laju evolusi CO2 yang paling besar ada di permukaan tanah dimana terdapat konsentrasi sisa tanaman yang paling tinggi. Semakin dalam ke profil tanah, laju produksi CO2 menurun, dan pada kedalaman 50 cm atau lebih evolusi CO2 sudah sangat terbatas.
Sementara laju respirasi dalam melepaskan karbon jauh lebih rendah dari serapan karbon oleh tanaman. Laju respirasi pada tanaman karet rata-rata 2.2 mg kg-1menit-1 pada temperatur 320C. Laju respirasi pada tanaman sawit pada temperatur 300C sekitar 0.5 mg CO2 kg-1menit-1 (Corley, 1983), dan selanjutnya dikatakan bahwa laju respirasi pada sawit sebesar 0.5 mg CO2 kg-1menit-1 pada temperatur 200C sampai 1.2 mg CO2 kg-1menit-1 pada temperatur 400C.
Perusakan atau perubahan tata guna lahan dapat dianggap sebagai penyebab pelepasan CO2 yang tersimpan di tanah ke atmosfer. Apabila hutan ditebang maka tanah akan menjadi sumber pelepasan CO2. Laju respirasi pada lahan hutan lebih rendah dibandingkan dengan laju respirasi pada lahan alang-alang 5 tahun dan > 10 tahun. Laju respirasi rata-rata pada tanah hutan sebesar 3.03 g m-2 hari-1, sementara lahan alang-alang 5 tahun sebesar 11.32 g m-2 hari-1 dan lahan alang-alang > 10 tahun sebesar 9.85 g m-2 hari-1 (Yuniar, 2002). Pada pertanaman mangium umur 10 tahun laju pelepasan CO2 sebesar 5 – 8 g m-2 hari-1 dan pada pertanaman mangium umur 5 tahun laju pelepasan CO2 adalah 9 – 12 g m-2 hari-1, sebaliknya pada lahan terbuka laju pelepasan CO2 mencapai 10 – 14 g m-2 hari-1 (Agus, 1997). Laju pelepasan CO2 di bawah beberapa tegakan hutan ditampilkan oleh Novita-Aini (2007) dimana di bawah tegakan hutan sekunder, pertanaman campuran kemiri dengan kopi, monokultur, kemiri, monokultur kopi, dan alang-alang berturut-turut adalah 4,55; 5.10; 4.85; 5.00, dan 5.60 g m-2 hari-1. Disini terlihat bahwa semakin terbuka lahan diiringi dengan peningkatan laju pelepasan CO2, seperti hutan sekunder laju pelepasan CO2 hanya 4.55 g m-2 hari-1, sebaliknya padang alang-alang laju pelepasan CO2 tertinggi, yaitu 5.60 g m-2 hari-1. Pelepasan karbon dari lahan alang-alang lebih tinggi dibanding dari hutan primer, hutan sekunder, kebun karet dan ladang berpindah.
Pengolahan tanah pada tanah lempung berpasir yang awalnya berupa tegakan hutan mengandung 2.30% bahan organik, turun menjadi 1.59% setelah pengolahan 3 tahun untuk usaha pertanian. Penggunaan tanah tropika yang intensif telah menurunkan kandungan bahan organik tanah di Chacra Brazil dari 2.13% menjadi 1.55% C-org (Sanchez, 1983). Setelah 4 tahun penanaman dengan tanaman singkong bahan organik tanah pada tanah Ultisols lampung turun dari 4.37 menjadi 2.80% C-organik (McIntosh dan Suryatna, 1978).
Di wilayah hutan tropika jatuhan seresah jauh lebih besar dibanding di wilayah hutan beriklim sedang. Bahan organik berupa seresah tanaman yang jatuh ke tanah akan cepat mengalami dekomposisi dan melepaskan unsur anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman, tererosi, tercuci maupun terlepas ke udara. Kira-kira setengah dari bahan kering seresah termineralisasi dalam waktu 8 – 10 minggu, setelah itu laju dekomposisi menurun. Selama dekomposisi di bulan pertama, kira-kira 80% kalium yang terikat dalam bentuk organik terdekomposisi. Bahan organik dari sisa rumput-rumputan, 70% dari berat kering akan terdekomposisi selama 3 bulan, dan sisanya yang sukar lapuk dapat mencapai 8 tahun.
Laju dekomposisi sisa tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan nitrogen dalam jaringan tanaman dimana senyawa protein yang kaya nitrogen akan mudah terdekomposisi. Protein akan terdekomposisi membentuk asam amino. Laju metabolisme yang menggunakan asam amino tergantung pada rasio C:N dalam jaringan tanaman. Jika rasio C:N yang tersedia lebih besar dari 25, semua asam amino akan dimanfaatkan oleh dekomposer, dan asam amino akan dimineralisasi membentuk amoniak, dan kemudian amoniak akan ternitrifikasi membentuk nitrat.
Lingkungan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme heterotrop cenderung seiring dengan laju evolusi karbon dalam tanah. Aktivitas mikroorganisme heterotrop sangat tinggi pada wilayah tropika basah, sehingga laju pelepasan karbon dari wilayah ini cenderung lebih tinggi dibanding dari wilayah beriklim dingin. Semua karakteristik tanah seperti pH, Eh, temperatur, potensial air, struktur tanah, aerasi akan mempengaruhi dekomposisi bahan organik. Tipe vegetasi mengandung keragaman struktur senyawa penyusunnya, sehingga kualitas sisa tanamannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas dari bahan organiknya. Indeks yang sering digunakan untuk menentukan kualitas bahan organik yang berkaitan dengan laju dekomposisi adalah C:N rasio. Nilai C:N rasio tanah relatif konstan pada kisaran 8:1 sampai 15:1 dengan rata-rata 10:1 sampai 12:1 (Prasad dan Power, 1997). Perbandingan C:N sangat menentukan apakah bahan organik akan termineralisasi atau sebaliknya nitrogen yang tersedia akan terimmobilisasi ke dalam struktur sel mikroorganisme. Karena C:N rasio pada tanah relatif konstan maka ketika residu tanaman ditambahkan ke dalam tanah yang memiliki C:N rasio relatif besar, residu tanaman akan terdekomposisi dan meningkatkan evolusi CO2 ke atmosfer, dan sebaliknya akan terjadi depresi pada nitrat tanah karena immobilisasi oleh mikroorganisme.
Pada lahan hutan pada umumnya mempunyai C:N rasio lebih tinggi bila dibanding C:N rasio pada lahan yang diubah menjadi agroekosistem. Tingginya rasio C:N pada lahan hutan ini mencerminkan kualitas substrat yang terurai relatif rendah, karena kualitas substrat yang rendah mencerminkan laju respirasi yang rendah pula. Rendahnya laju pelepasan karbon pada lahan hutan dibanding pada alang-alang ini disebabkan bahwa tingginya rasio C:N pada lahan hutan berkisar 13 – 16, sementara pada lahan alang-alang 5 tahun berkisar 9 – 11, dan alang-alang > 10 tahun berkisar 10 – 13. Hubungan antara C:N rasio dengan laju pelepasan karbon dalam bentuk CO2 melalui persamaan regresi memiliki nilai r2 = 0.78 nyata (Yuniar, 2002).
Beragam faktor yang menentukan laju dekomposisi bahan organik tanah, dan faktor iklim merupakan faktor yang paling berperan dalam proses dekomposisi. Di saat temperatur dan kelembaban meningkat, maka proses dekomposisi bahan organik akan semakin cepat. Hal ini juga yang menyebabkan bahwa bahan organik pada tanah tropika di daerah tropis jarang terakumulasi karena faktor iklim sangat optimum bagi aktivitas mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi sisa tanaman. Sehingga banyak peneliti menyusun beragam faktor lingkungan yang mempengaruhi laju dekomposisi di daerah tropis, yaitu curah hujan > temperatur > pH > kandungan liat tanah, sementara Jenni menyusun faktor pembentuk tanah yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik, yaitu iklim > vegetasi > topografi > bahan induk > umur tanah.
Vegetasi akan memproduksi biomassa dan sisa biomassa ini adalah sumber bahan organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah. Setiap vegetasi akan menghasilkan kualitas biomassa yang berbeda. Kualitas bahan organik tanah berupa susunan senyawa penyusun bahan organik akan menentukan kecepatan bahan organik mengalami pelapukan. Beragam fraksi karbon, nitrogen, dan fosfat yang merupakan makanan dan sumber energi bagi aktivitas mikroorganisme akan dimanfaatkan oleh organisme tersebut sebelum dilepas ke sistem tanah dan udara. Fraksi karbon dari molekul organik sisa tanaman, binatang dan mikroorganisme seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta banyak molekul lain yang mengandung unsur hara esensial seperti nitrogen pada protein, peptida, asam amino, asam nukleat, chitin, mukopeptida, dan gula amino sebagai sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme. Juga, fosfor yang tersusun pada asam nukleat, fosfolipid, fitin, dan sulfur yang terikat pada asam amino metionin, sistein, dan protein, tidak tersedia bagi tanaman adalah sumber makanan sebelum mengalami dekomposisi di dalam tanah.
Dekomposisi molekul organik seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin hanya dapat terjadi jika di dalam tanah tersedia unsur hara lain yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Jika suplai unsur hara tidak tersedia untuk aktivitas mikroorganisme perombak, maka proses dekomposisi akan mengalami hambatan. Unsur hara yang tersedia akan diimmobilisasi oleh mikroorganisme, dan hanya unsur hara yang tidak terimmobilisasi yang dapat diambil oleh tanaman untuk pertumbuhannya.
Posting Komentar