;

AGROEKOSISTEM TANAH MINERAL MASAM

PERSFEKTIF
AGROEKOSISTEM TANAH MINERAL MASAM


A. Pengertian

Tanah mineral dalam taksonomi berarti tanah yang mengandung material tanah berasal dari mineral berdiameter lebih halus dari 2.0 mm yang menyusun lebih dari setengah sampai kedalaman tanah 80 cm, mengandung bahan organik lebih rendah dari 20%, ketebalan material organik tanah kurang dari 40 cm apabila telah terdekomposisi sampai tingkat hemik dan saprik dengan bobot isi sama dengan 1 g cm-3 atau lebih besar, atau dengan ketebalan material organik tanah kurang dari 60 cm dan belum banyak mengalami dekomposisi sehingga masih banyak mengandung serat atau tidak dekomposisi fibrik, atau bobot isi lebih rendah dari 1 g cm-3. Tanah-tanah yang memiliki ketebalan solum sampai 40 cm dapat juga dimasukkan dalam pengertian tanah mineral, tetapi keberlanjutan agroekosistem pada tanah ini akan menuai banyak kendala terutama pada wilayah kering berkelerengan tinggi.
Dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman pangan, tanah berketebalan solum kurang dari 40 cm sudah termasuk kelas sesuai marjinal atau S-3, dan tidak dapat ditingkatkan kesesuaiannya walau dengan masukan apapun. Pengelolaannya untuk agroekosistem memerlukan masukan tinggi, dan apabila tidak diberi masukan, tanah ini akan mudah mengalami degradasi. Pada ketebalan tanah seperti ini, untuk tanaman tahunan sudah tidak dapat lagi diusahakan untuk pertanian, karena termasuk kelas kesesuaian lahan dengan kedalaman efektif tidak sesuai permanen atau N-2, dan peruntukannya hanya untuk kawasan konservasi.
Tanah mineral masam dalam pengertian sempit yang didasarkan pada taksonomi kelas reaksi tanah yaitu masam (acid) tanah mineral yang memiliki pH lebih kecil dari 5.0 (0.01 M CaCl2; 2:1) pada seluruh lapisan kontrol (control section) atau sekitar pH 5.5 (H2O; 1:1). Bila pH (H2O; 1:1) <>200 mm bulan-1 dan karena didukung pula oleh temperatur yang tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan daerah-daerah beriklim kering. Tingginya curah hujan tersebut telah menyebabkan hilangnya hara dari daerah perakaran melalui pencucian sehingga menimbulkan terbentuknya tanah mineral masam. Proses pembentukan tanah mineral masam menurut Notohadiprawiro (1986) berasal dari proses pelapukan yang sangat intensif karena berlangsung pada daerah tropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi. Kendala sifat dari tanah mineral masam untuk pengembangan agroekosistem meliputi kendala kimia, fisik, dan biologi tanah.
Kendala kimia yang utama pada tanah mineral masam, yaitu; pertama, pH tanah yang rendah, dan berimplikasi terhadap karakteristik kimia tanah yang lain seperti kelarutan Al, Fe, dan Mn yang tinggi, ketersediaan P, Mo yang rendah. Kedua, ketersediaan kation-kation basa dan kejenuhan basa yang rendah. Pencucian basa-basa yang berlangsung sangat intensif pada rezim suhu mesik, isomesik mengakibatkan tanah bersifat masam dan miskin hara. Bahan induk terbentuknya tanah mineral masam adalah bahan induk yang sudah tua yaitu batuan liat (clay stone) atau batuan vulkanik masam, dan mineral liat yang terbentuk biasanya didominasi oleh kaolinit dan gibsit (Hardjowigeno, 1993). Tanah mineral masam ini kebanyakan telah kehilangan mineral primernya dan memiliki mineral kaolinit, dan oksida besi dan aluminium yang lebih dominan. Ketiga, dominasi mineral liat kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium yang merupakan mineral low activity clay menyebabkan tanah ini memiliki kapasitas tukar kation yang rendah. Keempat, tingginya kandungan mineral-mineral tersebut apabila terlarut menyebabkan kejenuhan kation didominasi oleh kejenuhan asam dan kation-kation tersebut pada konsentrasi tertentu akan bersifat toksik bagi tanaman, serta anion-anion akan mudah terfiksasi menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kelima, rendahnya kandungan fosfat dan tingginya retensi fosfat dan molibdat karena kelarutan Al dan Fe menyebabkan fosfat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Keenam, muatan permukaan pada tanah mineral masam umumnya didominasi oleh muatan berubah (pH dependent charge), dimana daya sangga tanah menjadi tinggi sehingga aplikasi pengapuran dan pemupukan memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Tanah mineral masam memiliki kendala fisik, antara lain; pertama, kandungan bahan organik yang rendah yaitu sekitar 2% bahkan banyak tanah yang telah diusahakan untuk pertanian lebih rendah lagi. Daerah tropika yang lembab dan temperatur yang tinggi merangsang aktivitas mikroorganisme untuk melakukan dekomposisi bahan organik tanah. Kedua, rendahnya kandungan bahan organik tanah ini menyebabkan stabilitas agregat yang rendah sehingga tanah akan mudah mengalami erosi. Ketiga, rendahnya kandungan bahan organik ini juga mempengaruhi daya simpan air dimana daya simpan air pada tanah ini sangat rendah. Keempat, secara fisiografis tanah umumnya tanah mineral masam terletak pada wilayah yang berlereng, sehingga dengan curah hujan yang tinggi pada tanah berlereng, tanah tersebut akan mudah mengalami erosi.
Produktivitas tanah turun karena kombinasi kahat unsur hara, degradasi fisik tanah dan hilangnya bahan organik karena adanya proses dekomposisi bahan organik dipercepat dan hilangnya bahan organik oleh adanya erosi. Erosi yang menghilangkan lapisan tanah atas yang subur, dan meninggalkan lapisan tanah bawah yang mengandung Al tinggi dan bersifat toksik sebagai lapisan olah tanah untuk media tanaman. Penurunan kesuburan tanah ini memberikan peluang yang lebih besar bagi alang-alang (Imperata cylindrica) untuk mendominasi lahan.
Kendala biologi pada tanah mineral masam bermula dari rendahnya pH tanah dan kandungan bahan organik tanah. Secara umum aktivitas mikroorganisme tanah berada pada kisaran pH netral, kecuali fungi dan beberapa bakteri. Beberapa bakteri dapat berkembang pada pH ekstrim 2 – 5 seperti Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans yang mendapatkan energi dari oksidasi senyawa besi dan sulfur. Kebanyakan bakteri akan berkembang secara optimum pada pH netral, seperti bakteri Rhizobium yang bersimbiosis dengan tanaman legum akan aktif membentuk bintil akar dan mengfiksasi N dari udara pada kisaran pH 6.5 sampai 7.0. Bakteri dekomposer dan nitrifikasi seperti Nitrobacter dan Nitrosomonas akan aktif melakukan dekomposisi bahan organik pada pH tanah yang netral. Kandungan bahan organik tanah sangat mempengaruhi aktivitas cacing tanah. Bahan organik adalah sumber makanan dan energi bagi aktivitas cacing tanah, dan efek samping dari aktivitas cacing tanah seperti pembuatan lubang tanah, sekresi yang mengeluarkan asam organik dan meningkat ketersediaan hara serta mengeluarkan zat atau hormon pengatur tumbuh. Dengan demikian pemeliharaan bahan organik tanah sangat menentukan dinamika keberlanjutan agroekosistem pada lahan mineral masam.

D. Kendala Pengelolaan

Tanah mineral masam secara fisik berpotensi tinggi sebagai lahan pertanian, namun bila pengelolaannya kurang tepat akan menimbulkan dampak yang cukup serius terhadap lingkungan. Usaha intensifikasi pertanian di Indonesia seringkali mengakibatkan pengurasan hara dari dalam tanah akibat pengangkutan panen dalam jumlah besar. Sistem pengelolaan kesuburan tanah hanya ditekankan pada pergantian hara melalui pemupukan tanpa adanya usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah secara komprehensif. Dengan demikian usaha intensifikasi ini seringkali diikuti oleh penurunan produksi tanaman dan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan. Pengelolaan lahan pertanian yang semakin intensif seperti penggunaan pupuk anorganik dalam dosis tinggi secara terus menerus, atau tanah di sekitar daerah industri telah banyak memacu terjadinya kemasaman tanah sehingga luasan tanah masam terus meningkat.
Pengembangan agroekosistem pada areal tanah mineral masam selama ini menunjukkan tingkat produktivitas yang rendah. Beberapa hasil penelitian dengan menggunakan beragam jenis tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan menunjukkan hasil yang masih rendah yang belum sesuai dengan potensi produksi yang semestinya. Tidak tercapainya potensi produksi pada tanah mineral masam ini antara lain disebabkan oleh pengelolaan tanah yang belum optimal. Produktivitas kelapa sawit pada tanah mineral masam di beberapa wilayah perkebunan kelapa sawit di Indonesia ternyata masih rendah dan berada di bawah standar potensi lahan kelas S-3. Hasil penelitian yang dilakukan pada tanaman generasi pertama bahwa potensi produksi kelapa sawit pada tanah mineral masam di beberapa kebun di Kalimantan Barat dan Timur masing-masing baru mencapai 61% dan 63% terhadap standar potensi lahan kelas S-3, sedangkan di wilayah Riau dan Sumatera Utara masing-masing baru mencapai 63% dan 77% (Poeloengan, dkk. 2001).
Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan hama. Lebih dari sepuluh ribu spesies insekta, gulma, nematoda dan penyakit yang dapat menyerang tanaman yang dibudidayakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengubah keseimbangan ke arah yang menguntungkan manusia seperti pemilihan kultivar tanaman agar dapat mengatasi dan melawan gulma, hama dan penyakit tanaman tersebut. Penggunaan bahan kimia untuk mengendalian hama telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu seperti penggunaan bubur Bordeaux, campuran kapur dan belerang, larutan arsenik, ataupun insektisida alami. Hampir di setiap usaha pertanian, sejumlah bahan kimia digunakan untuk memberantas gulma, hama dan penyakit. Pestisida yang banyak digunakan saat ini mencakup insektisida, fungisida, herbisida, nematisida, moluskisida, dan akarisida.
Namun, saat ini penggunaan pestisida telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah pertama adalah timbulnya kekebalan pada berbagai organisme hama, sehingga untuk memberantasnya memerlukan dosis yang lebih tinggi; kedua, timbulnya residu pestisida yang mencemari lingkungan; dan ketiga, timbulnya efek merusak dari bahan kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Banyak pestisida yang dikembangkan saat ini bersifat selektif terhadap target gulma, hama dan vektor penyakit, tetapi hampir tidak mungkin pestisida tersebut tidak kontak dengan non target. Pestisida yang diaplikasikan dalam produksi pertanian dapat berimplikasi pada perubahan keseimbangan ekosistem tanah, baik merusak organisme non target maupun merubah karakteristik fisiko-kimia tanah yang berimplikasi pada komposisi organisme tanah. Tanah yang menjadi tempat tumbuh dan hidupnya organisme menanggung beban yang amat berat karena dapat menjadi tempat terakumulasinya residu pestisida.

E. Agroekosistem

Agroekosistem adalah ekosistem yang dimodifikasi dan dimanfaatkan secara langsung atau tidak langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan/atau serat-seratan. Konsep agrosistem ini harus berdimensi yang luas, meliputi produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan. Teknologi pertanian terus berkembang, perubahan fungsi dan manfaat tanah mineral masam dengan faktor pembatas yang sangat marjinal untuk ekstensifikasi pertanian dapat diatasi dengan masukan teknologi dan energi. Tetapi, kalau masukan teknologi dan energi terus ditingkatkan tanpa mempertimbangkan karakteristik tanah, produksi pertanian akan mengalami pelandaian (levelling off) dan suatu waktu akan mencapai titik balik. Pada titik balik tersebut sebidang tanah mineral masam dengan masukan teknologi dan energi tidak akan memberikan hasil yang memadai lagi, bahkan akan mendatangkan kerugian.
Langkah operasional dalam memantapkan tanah mineral masam sebagai agroekosistem menyangkut aspek: agro-teknis, perbaikan varietas dan klon, penyediaan benih unggul, dan pembinaan mutu benih. Pengelolaan tanah dan tanaman yang baik dapat memberikan produktivitas sumberdaya lahan yang tinggi, lahan tidak terdegradasi dan terpelihara keberlanjutannya, apalagi pengelolaan tersebut diirngi dengan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu untuk menjaga stabilitas produksi. Zonasi pengembangan pertanian harus memperhatikan aspek agro-klimatologi dan potensi wilayah untuk menjamin kemerataan, sehingga tidak terjadi produksi yang berlebihan pada satu komoditas, dan kelangkaan terhadap komoditas lainnya. Aspek sosial-ekonomi berupa kerekayasaan sosial merupakan kegiatan untuk meningkatkan dinamika sosial, serta diirngi dengan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan inovasi teknologi dan inovasi sosial. Pengembangan tanah mineral masam sebagai wilayah agroekosistem tidak hanya menyangkut aspek produksi, tetapi juga aspek pemukiman, sarana sosial, lingkungan dan fasilitas pemasaran produk pertanian. Langkah operasional yang menjamin terlayaninya aspek agro-teknis dan sosial ekonomi dapat mengarahkan pengembangan wilayah ini menjadi daerah binaan baru perekonomian dan pusat-pusat pertumbuhan.
Pengelolaan tanah mineral masam menjadi sumberdaya pertanian dan perkebunan harus memperhatikan sifat ekosistem secara keseluruhan karena agroekosistem ini merupakan sub-sistem binaan dari ekosistem wilayah yang sudah stabil. Pengembangan agroekosistem dengan komoditas tunggal mudah mengalami instabilitas secara teknis, ekonomis maupun ekologis. Bila suatu wilayah hanya dikembangkan satu komoditas unggulan, bila terjadi serangan hama atau penyakit tanaman maka serangannya akan sporadis keseluruhan wilayah, dan kegagalan panennya akan berimplikasi pada kestabilan ekonomi wilayah. Secara ekonomis, fluktuasi harga suatu produk sangat ditentukan oleh harga pasar di tingkat regional, nasional maupun internasional. Jatuhnya harga kopi dunia, sebagai contoh, menyebabkan keterpurukan ekonomi masyarakat petani kopi di wilayah Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu.
Secara ekologis, sistem monokultur pertanian merupakan model kebalikan dari biodiversitas ekosistem alami. Pola usaha tani yang mendekati model ekosistem alami agroforestry, yaitu model yang mendekati hutan dalam peranan hidrologinya. Model agroforestry adalah memadukan tanaman dalam beragam strata, yaitu strata bawah untuk tanaman pangan dan obat-obatan, strata tengah seperti pisang, kakao dan tanaman dengan ketinggian batang sedang, dan strata atas adalah tanaman tahunan seperti karet, kelapa, kelapa sawit. Model agroforestry ini juga menjamin simpanan karbon biomassa tegakan dan cadangan karbon seresah dan karbon humus akan mendekati simpanan karbon seperti hutan virgin, sehingga kegamangan akan percepatan kehilangan simpanan karbon dari hutan tropika Indonesia dapat diabaikan.
Tanah-tanah di wilayah beriklim tropika basah yang belum dijamah manusia sangat produktif menghasilkan biomassa. Jumlah biomassa dalam hutan tropika antara 200 sampai 400 ton bahan kering. Laju pelepasan karbon dari permukaan daratan sekarang ini dua kali lebih besar dari laju pemendamannya. Ketidakseimbangan ini terutama disebabkan oleh penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk pengembangan agroekosistem. Penebangan hutan telah menurunkan kapasitas produksi primer dan adanya percepatan laju dekomposisi dari cadangan karbon yang tersimpan dalam tanah.
Net produksi primer atau net fotosintesis adalah laju penimbunan karbon organik melalui fotosintesis dalam jaringan tanaman melebihi laju respirasi. Pada sistem tanah, net fotosintesis pada tanaman tingkat tingggi adalah penyumbang terbesar produksi primer. Net fotosintesis sangat beragam antar ekosistem, dan laju tertinggi produksi dihasilkan pada ekosistem hutan hujan tropika dimana sekitar 11 ton ha-1 dari karbon atmosfer difiksasi setiap tahun sebagai biomassa pohon. Kapasitas yang tinggi dari hutan hujan tropika dalam mengfiksasi karbon dioksida dan penyebarannya yang sangat luas sehingga kehilangan hutan hujan tropika basah ini berimplikasi terhadap keseimbangan gas rumah kaca di atmosfer.
Koversi hutan tropika menjadi agroekosistem pada dasarnya merupakan konversi total, yaitu pergantian jenis kehidupan menjadi ekosistem lain yang tidak lagi memiliki sifat-sifat hutan tropika yang asli. Masukan teknologi pada agroekosistem seperti spesies tanaman, pupuk anorganik, pestisida, pola pengelolaan lahan dan tanaman tidak lagi sama dengan ekosistem hutan, sehingga perubahan ini sangat mempengaruhi keseimbangan ekosistem asli. Konversi hutan hujan tropis ke agroekosistem menjadi sorotan utama penyebab pelepasan gas seperti CO2, CH4, dan N2O ke atmosfer. Pelepasan energi fosil mencapai 6 milyar ton CO2, hampir sama dengan jumlah CO2 yang dilepaskan dari tanaman dan tanah (Wada, dkk. 1992), sedangkan dinamika NH4 dan N2O sangat berkorelasi dengan upaya peningkatan produksi pertanian yaitu dihubungkan dengan dekomposisi bahan organik dan volatilisasi pupuk anorganik dimana peningkatan N2O di atmosfer sekarang sekitar 0.3 persen setiap tahunnya.
Sistem perladangan berpindah dengan tebang-tebas-bakar tidak menimbulkan kerusakan tanah mineral masam yang menghawatirkan kalau tidak terganggu siklusnya. Pembakaran yang dilakukan dalam tahap pembersihan lahan (land clearing) tidak selalu mepunyai pengaruh negatif, karena abu hasil bakaran merupakan sumber hara yang cukup banyak. Perladangan berpindah dengan waktu istirahat (fallow period) yang cukup lama tidak menimbulkan kerusakan lahan. Subsidi hara yang berasal dari seresah atau pembusukan tanaman dalam waktu yang cukup lama akan dapat mencukupi kebutuhan hara tanaman untuk satu sampai 3 kali musim tanam. Semakin lama lahan diberakan, akan semakin tinggi hara yang terakumulasi pada biomassa tegakan dan bahan organik tanah. Tebang-tebas-bakar dari biomassa ini akan melepaskan abu yang merupakan sumber hara yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Pada saat ini, siklus perladangan tersebut banyak terganggu antara lain oleh pertambahan penduduk yang pesat, pengalokasian lahan untuk keperluan lain, penguasaan lahan yang berlebih oleh perorangan dan badan usaha. Keterdesakan masyarakat akan keperluan lahan usaha tani ini menyebabkan perlunya pembinaan yang intensif pada peladang berpindah karena sistem perladangan berpindah ini tidak sesuai lagi dengan daya dukung lahan saat ini. Dalam penanganan masalah perladangan berpindah, pola usaha tani harus merupakan rakitan yang mempunyai interaksi komplementer atau hasil keterpaduannya yang bersifat sinergis. Beragam pola usaha tani bukanlah pola yang baru sama sekali, tetapi pola tersebut merupakan modifikasi dari pola tradisional yang biasa diterapkan oleh petani. Komponen utama yang harus bersinergis dalam pola usaha tani yang harus diterapkan yaitu pola yang menyeimbangkan komoditas tanaman pangan dan tanaman tahunan, yang rasionya merupakan bandingan serasi yang dapat memberikan hasil tinggi, dan pendapatan petani yang maksimal tanpa mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Pengelolaan tanah konservasi di wilayah tropis khususnya di Indonesia menjadi penting karena untuk menjaga lingkungan dan kelestarian tanah serta peningkatan produksi, disamping mengurangi degradasi kesuburan tanah, erosi dan kemasaman tanah. Sistem pengelolaan lahan pada usaha tani konservatif adalah suatu sistem pengelolaan lahan dan tanaman yang dikaitkan dengan sumber daya alam yaitu tanah dan iklim, teknologi termasuk konservasi tanah dan air, pola tanam tanaman semusim, tahunan termasuk ternak dengan tujuan meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman secara berkelanjutan. Dari bagi tersebut, pengelolaan tanah meliputi kegiatan-kegiatan penyusunan rencana penggunaan tanah, pembukaan lahan, pencegahan erosi, pengolahan tanah dan pemupukan Pengelolaan tanah konservatif memberikan arti bahwa penggunaan tanah sesuai dengan kemampuannya dan memperlakukannya dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas agar tidak terjadi degradasi tanah. Prinsip pengelolaan tanah konservatif adalah menetapkan kemampuan dan kesesuaian lahan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas dan menetapkan model penggunaannya sehingga produktivitas lahan dapat berkelanjutan, mencegah degradasi tanah dan melakukan restorasi lahan yang telah mengalami degradasi.