;

DESTABILISASI GAMBUT:
SUBSIDENSI DAN RESPIRASI KARBON PADA KONDISI AEROBIK


Abstract
Wise use of peat swamp forests for agriculture activities should based on depth research, applying suitable technology and considerable management because conversing peatlands for agriculture changes peat ecosystems totally; changing all kinds of living organisms to other strange ecosystems with no relation to natural peat ecosystems. Reclamation and conversion of peatland for agriculture development in some decades before and for the future should faced with developing drainage and water supletion systems which constructing gigantic design of drainage canals. In facts, over drainage caused of water canal establishments in the peat reclamation resulted to peatland subsidence, irreversible drying of peats, and carbon evolutions. Reclamation of peatswamp forests alleviates values of peats as natural sources.
Peat subsidence was resulted by peat shrinkage, consolidation, organic matter decomposition, and compaction. Peat subsidence rate was high affected by depth of drainage structures. Studying in Riak Siabun Bengkulu peatlands with thick of peats 140 – 160 cm, the subsidence rate of fibric peat was the average of 3.52 cm year-1, while in sapric peat was 2.0 cm year-1. Rate of peat subsidence for the whole peat was 2.5 cm year-1, in which 70 percent of the subsidence caused by peat decomposition. Conventional tillage in Central Kalimantan peats for upland rice systems released CO2 about 46 percent higher than those of with no tillage. Carbon release from peat planted with dryland systems for rice was twice comparing to rice field from paddy systems. Stabilization of peats ameliorated with metal cation could suppress carbon emission form the peatlands.
Keywords: Destabilization, stabilization, subsidence, carbon respiration.

Pendahuluan
Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-orologi dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Nilai penting inilah yang menjadikan lahan rawa gambut harus dilindungi dan dipertahankan kelestariannya. Kearifan tradisional yang merupakan pengetahuan turun temurun (indigenous knowledge) telah diperkenalkan oleh petani Banjar dan Bugis tentang reklamasi dan tata kelola lahan pasang surut khususnya gambut hampir ratusan tahun yang lalu di Kalimantan, Sumatera, bahkan sampai ke Malaysia. Mereka membuka lahan untuk usaha tani dengan membuat saluran/parit kongsi atau handil dari sungai-sungai besar menjorok masuk ke pedalaman. Keberlanjutan umur pakai lahan dengan pola penggunaan lahan dan pengelolaan tanaman yang mereka lakukan tetap berpegang pada kaidah-kaidah konservasi lahan gambut.
Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam lahan rawa gambut secara bijaksana perlu perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Informasi tentang sifat-sifat kritis dan fragile merupakan referensi yang sangat penting untuk menyusun perencanaan yang lebih akurat, pengoptimalkan pemanfaatan dan usaha konservasinya. Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian pada dasarnya merupakan konversi total, mulai dari pergantian jenis kehidupan menjadi ekosistem lain yang tidak lagi memiliki sifat-sifat gambut yang asli. Teknologi pertanian terus berkembang, perubahan fungsi manfaat lahan gambut dengan faktor pembatas yang sangat marjinal untuk pertanian dalam tahap permulaan dapat diatasi dengan masukan teknologi dan energi. Tetapi, walaupun masukan teknologi terus ditingkatkan, hasil akan mengalami pelandaian (levelling off) dan suatu waktu akan mencapai titik balik.
Banyak pengalaman dari pengembangan lahan rawa menunjukkan kegagalan. Perubahan penggunaan lahan rawa tanpa menghiraukan faktor pembatas inheren seperti pembukaan lahan dengan karakteristik ketebalan gambut > 150 cm menyebabkan gambut mengalami kering tidak balik, subsidensi, pemampatan dan dekomposisi dipercepat.

Drainase Rawa
Reklamasi dan konversi lahan rawa untuk pembangunan pertanian pada beberapa dasa warsa yang lalu dan mungkin selanjutnya akan selalu berhadapan dengan pembuatan jaringan drainase dan suplesi berskala luas. Seringkali rancang bangun jaringan reklamasi mengarah pada eksistensi tata saluran yang intensif. Di lahan-lahan rawa pasang surut, saluran biasanya dibuat terdiri dari kanal primer, kanal sekunder, kanal tersier, dan kanal batas.
Sesungguhnya tanah-tanah pada ekosistem rawa merupakan tanah yang sangat marjinal dengan beragam faktor pembatas permanen, sehingga sebagian besar lahan rawa di Indonesia tidak layak dikembangkan untuk usaha pertanian secara permanen (permanently unsuitable). Reklamasi rawa dapat menyebabkan terjadinya subsiden, kering tak balik dan dekomposisi tanah gambut. Hal ini dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapisan gambut mengandung pirit atau pasir kwarsa, terlebih lagi kalau dalam penyiapan lahan tanam untuk usaha pertanian dengan cara tebas bakar (slash and burn).

Subsidensi
Subsiden dipengaruh oleh 4 faktor utama, yaitu 1) pengerutan (vertical shrinkage) pada lapisan atas karena pengeringan, 2) konsolidasi pada lapisan bawah akibat hilangnya kemampuan apung (buoyant force) air tanah akan terjadi pembebanan pada lapisan bawah, 3) oksidasi bahan organik, dan 4) pemampatan (compaction) pada lapisan di bawah lapisan olah akibat pengolahan yang intensif (Slusher, dkk. 1974). Sebuah program penelitian di Johor, Malaysia diketahui bahwa untuk gambut Malaysia besarnya subsiden yang terjadi adalah :
Laju subsiden = 0,04 x kedalaman saluran drainase (DID dan LAWOO, 1996).
Laju subsiden di gambut yang mempunyai kedalaman air tanah antara 75 – 100 cm di Serawak Malaysia rata-rata 6 cm tahun-1. Penelitian lain menunjukkan, laju subsiden pada gambut di Serawak pada 2 tahun pertama setelah pembukaan saluran drainase sebesar 1 m, dan pada tahun-tahun berikutnya menurun dengan rata-rata 5 cm tahun-1 (Wosten dan Ritzema, 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa hubungan laju subsiden dengan kedalaman air tanah adalah :
Laju subsiden (cm tahun-1) = 0,1 x Kedalaman air tanah (cm)
Laju dekomposisi gambut sebesar 42 ton gambut Ha-1.
Pada gambut Riak Siabun Bengkulu dengan ketebalan 140-160 cm laju subsiden gambut fibrik akibat pembuatan saluran drainase rata-rata 3,52 cm tahun-1 (Hidayanti, 2006), sementara pada gambut dengan tingkat kematangan saprik rata-rata 2,0 cm tahun-1 (Canedy, 2005)(Tabel 1).
Tabel 1. Laju Subsiden Gambut Riak Siabun Bengkulu karena Perbedaan Kedalaman Drainase (Canedy, 2005*; Hidayanti, 2006**).


Semakin dalam drainase mengakibatkan laju subsidensi semakin cepat, dan semakin mentah gambut akan diikuti dengan semakin tinggi laju subsiden. Laju subsiden juga sangat dipengaruhi oleh ketebalan gambut, dimana pada gambut dalam laju subsiden akan lebih besar dibanding pada gambut sedang dan gambut dangkal. Subsiden gambut saprik Talio Kalimantan Tengah dengan tebal awal gambut 180 cm – 240 cm sebesar 0,78 cm, sedangkan pada gambut saprik Barambai Kalimantan Selatan dengan ketebalan awal 45 – 63 cm setelah reklamasi 12 – 21 bulan sebesar 0,36 cm (Drajat, dkk. 1986). Selanjutnya dikatakan bahwa peran proses dekomposisi gambut dan pemampatan akibat mengolahan tanah mencapai 68,77 – 89,69 persen. Pada lahan gambut Rawa Lunang Sumatera Barat laju subsiden mencapai 5 cm tahun-1 (0,42 cm bulan-1) pada gambut ketebalan 0 – 100 cm, dan semakin tebal gambut laju subsiden semakin besar yang mencapai 11,04 cm tahun-1 (0,92 cm bulan-1) pada gambut dengan ketebalan > 300 cm.
Laju subsiden gambut pada awal reklamasi pada tahun ke 2 – 3 berjalan sangat cepat, tetapi kemudian berangsur-angsur menjadi lebih lambat diperkirakan rata-rata sekitar 2,5 cm (Hardjowigeno, 1997). Subsiden relatif kecil setelah tahun ke 6 hingga tahun ke 8 dan mantap setelah tahun ke 8 hingga tahun ke 10 (Driessen dan Soepraptohardjo, 1976). Laju subsiden awal reklamasi gambut di PT. Riau Sakti United Plantation tahun ke 1, 2 dan 3 berturut-turut tanpa pemadatan adalah 13.5; 21.0; dan 29.5 cm sementara dengan pemadatan adalah 3.3; 6,3 dan 10.8 cm (Sabiham dan Ismangun, 1977). Gambut di Barambai Kalimatan Selatan selama tiga tahun pengelolaan mengalami subsiden rata-rata 16 cm tahun-1 (Hardjowigeno, 1997).
Pentingnya membuat peramalan tentang laju subsiden seperti model yang ditulis di atas adalah untuk mengetahui hubungan penggunaan lahan, pengelolaan air dan keberlanjutan penggunaan gambut. Sebagai contoh, laju subsiden gambut dengan kedalaman air tanah –25 cm untuk tanaman sagu akan lebih rendah laju subsidennya sehingga umur penggunaan lahan gambutnya lebih panjang dibanding dengan pola penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan kedalaman drainase – 50 cm (Wosten dan Ritzema, 2001). Perkiraan umur pakai lahan gambut dari beberapa ketebalan gambut untuk tanaman kelapa sawit dan sagu terlihat pada Tabel 2. Nilai subsiden lebih rendah disampai oleh Kyuma, dkk., (1992) gambut di Pontian Johor, Malaysia mengalami subsiden sebesar 2,5 cm tahun-1, dimana 70 persen dari subsiden ini disebabkan oleh dekomposisi bahan gambut, atau sebesar 1,79 cm tahun-1. Laju subsiden gambut aktual di Barambai Kalimantan Selatan setelah 4 tahun dibuka mencapai 1,6 – 4,8 cm tahun-1, dan karena pengaruh pengerutan sekitar 6,25 – 50 persen, atau hanya berkisar antara 0,3 – 0,8 cm tahun-1 (Drajat, dkk. 1988).
Tabel 2. Umur Pakai Gambut sebagai Pengaruh Penggunaan Lahan
(Wosten dan Ritzema, 2001)


Respirasi Karbon
Evoluasi CO2 dari tanah yang juga dikenal dengan istilah respirasi, sering dipakai sebagai indeks aktivitas mikrobiologi tanah, menentukan laju dekomposisi gambut setelah proses reklamasi. Secara umum faktor fisik dan kimia lingkungan yang sangat menentukan laju dekomposisi gambut antara lain; suhu, suplai oksigen, kelembaban tanah, pH, unsur hara, dan C/N rasio bahan gambut.

Suhu
Suhu adalah salah satu faktor lingkungan yang paling menentukan bahan gambut dimineralisasi oleh mikrobia tanah. Metabolisme mikrobia dan proses mineralisasi dari senyawa karbon lebih lambat pada suhu rendah, pada saat terjadi peningkatan suhu akan terjadi proses metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan gas CO2. Suhu optimum pelapukan senyawa karbon terjadi pada kisaran 30 0C sampai 400C. Degradasi bahan gambut semakin cepat dengan semakin meningkatnya suhu tanah dimana akan mencapai maksimum sekitar suhu 35 0C dan 37 0C (Alexander, 1977). Perubahan pola penggunaan lahan yang menyebabkan lahan lebih terbuka dapat meningkatkan rata-rata fluktuasi suhu harian. Suhu udara di hutan gambut Kalimantan Tengah dengan rata-rata harian, maksimum dan minimum berturut-turut 25,5 0C, 28,30C, dan 23,40C, sementara pada lahan terbuka suhu tersebut berturut-turut 27,50C, 34,10C, dan 22,60C (Takahashi dan Yonetani, 1997).
Perbedaan suhu harian maksimum dan minimum karena adanya drainase gambut berkorelasi positif dengan besarnya pelepasan CO2 (Kyuma, dkk. 1992). Pelepasan CH4 dan CO2 di lahan rawa sangat ditentukan oleh suhu dan keseimbangannya mengarah ke pelepasan CH4 di saat suhu meningkat. Emisi karbon tertinggi terjadi pada siang hari, hal ini berkaitan dengan suhu udara dan tanah pada kedalaman 5 cm tertinggi tercapai pada siang hari jam 12.00-18.00 waktu setempat dan terendah pada malam menjelang pagi hari dan hal tersebut seiring dengan emisi karbon yang dihasilkan. Meningkatnya suhu akan merangsang kegiatan mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Bakteri metanogen adalah bakteri mesofilik yang aktivitasnya optimum pada suhu 300C - 400C (Alexander, 1977). Kebanyakan bakteri pelepas CH4 bekerja pada suhu lebih dari 300C (Neue dan Scharpenseel, 1984).

Tata Air
Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh tingginya muka air tanah dalam pengelolaan tata air sangat menentukan regulasi emisi CH4, dan CO2. Jumlah CH4, CO2 dan N2 biasanya ditemukan paling banyak di dalam tanah tergenang atau tereduksi. Jumlah CH4 dan CO2 di dalam tanah tergenang berkisar 4 – 55 persen dan 2 – 10 persen. Rendahnya kandungan CO2 pada tanah tergenang dibanding kandungan CH4 karena pada tanah tergenang oksigen masuk ke dalam tanah melalui proses difusi. Proses difusi O2 ini 10.000 kali lebih lambat daripada difusi O2 di dalam pori terisi gas, berarti dalam kondisi ini tidak dapat terjadi oksidasi (Neue dan Scharpenseel, 1984). Dari inkubasi bahan gambut selama 7 hari Chapman, dkk. (1996) mengestimasi dalam kondisi yang anaerob bahwa gambut dengan ketebalan 1 m akan melepaskan CH4, sebesar 1.10 mg m-2 jam-1 dan CO2 sebesar 71.9 mg m-2 jam-1. Di musim panas pada lahan gambut yang pernah direklamasi, emisi CH4, sebesar 1.05 mg m-2 jam-1 dan CO2 sebesar 89.6 mg m-2 jam-1 .
Masalah utama pada penggunaan lahan gambut untuk usaha tanaman semusim adalah tingginya laju dekomposisi karena adanya drainase pada lahan gambut. Laju respirasi tanah diperkirakan sekitar 3 kali lebih besar pada lahan gambut terbuka dibanding dengan laju respirasi pada hutan rawa gambut alami, yaitu sekitar 42 ton C Ha-1 tahun-1. Pengelolaan air merupakan faktor utama yang dapat mengontrol laju oksidasi.

Pengelolaan Lahan
Pengolahan tanah gambut secara konvensional dapat memberikan peluang tanah lebih teroksidasi, sehingga laju dekomposisi gambut secara aerob akan semakin meningkat. Perbedaan pengolahan tanah pada gambut untuk tanaman padi terhadap laju dekomposisi yang diindikasikan pada pelepasan gas CH4 dan CO2 terlihat pada Tabel 3, dimana semakin intensif pengolahan tanah maka laju pelepasan CH4 dan CO2 semakin meningkat.
Tabel 3. Emisi CH4 dan CO2 pada Beberapa Cara Pengolahan Tanah pada Lahan Padi.


Pengaruh pengolahan tanah semakin jelas pada sistem pengelolaan lahan kering dimana pengolahan tanah konvensional untuk media tanaman padi gogo pada tanah gambut akan melepaskan CO2 sekitar 46 persen lebih tinggi dibanding tanpa olah tanah, pelepasan CO2 pada sistem olah tanah konvensional sebesar 161,18 mg m-2 jam-1, sedangkan pada tanpa olah tanah sebesar 111,41 mg m-2 jam-1. Walaupun pelepasan CO2 lebih rendah pada sistem sawah pada lahan gambut, tetapi perbandingan relatif pengaruh pengolahan tanah konvensional untuk media padi sawah IR-64 akan melepaskan CO2 sama dengan sistem padi gogo yaitu sebesar 46 persen lebih besar dibanding tanpa olah tanah untuk lahan padi sawah varietas IR-64. Pola tanam lahan kering padi gogo akan melepaskan CO2 93 persen dan 111 persen lebih tinggi dibanding dengan pola tanam sawah padi IR-64 dan padi lokal.

Pengelolaan Tanaman
Konversi hutan gambut untuk usaha tani tanaman pangan akan menimbulkan permasalahan destabilisasi gambut dan pelepasan gas rumah kaca. Estimasi apabila gambut terus menerus ditanami padi sawah sebesar 2,24 sampai 2,31 ton C Ha-1 tahun-1, sedangkan pada lahan yang ditanami padi gogo, jagung dan kedele berturut-turut 3,65 ton C Ha-1 tahun-1, 3,65 ton C Ha-1 tahun-1 dan 3,74 ton C Ha-1 tahun-1(Barchia, 2002), sedangkan Maltby (1997) mengatakan pada lahan gambut yang diusahakan untuk usaha pertanian sebesar 5 ton C Ha-1 tahun-1. Emisi karbon dalam bentuk CH4 pada lahan padi sawah berkisar antara 0,59 sampai 0,72 ton C Ha-1 tahun-1, sedangkan pada lahan padi gogo, jagung dan kedele berturut-turut 0,64 ton C Ha-1 tahun-1, 0,42 ton C Ha-1 tahun-1 dan 0,28 ton C Ha-1 tahun-1. Emisi karbon dalam bentuk CO2 pada lahan padi sawah adalah 1,64 sampai 1,58 ton C Ha-1 tahun-1, sedangkan pada lahan padi gogo, jagung dan kedele berturut-turut 3,00 ton C Ha-1 tahun-1, 3,23 ton C Ha-1 tahun-1 dan 3,45 ton C Ha-1 tahun-1. Pola penggunaan lahan gambut dengan sistem lahan kering di Kalimantan Tengah akan melepaskan karbon dalam bentuk CO2 dua kali lebih besar dibanding dengan sistem tanam sawah (Gambar 1).


Gambar 1. Emisi CO2 pada Beberapa Lahan Tanaman Pangan Gambut Kalimantan Tengah.

Emisi CO2 pada lahan padi sawah yang ditanami padi varitas IR-64, padi lokal, dan pada lahan tanpa tanaman yang digenangi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada suasana tergenang, bakteri metanotrofik atau bakteri aerob relatif tertekan aktivitasnya dalam merombak bahan organik dari gambut sepanjang waktu. Pada lahan gambut terbuka yang tidak ditanami melepaskan CO2 sebesar 106,27 mg m-2jam-1, sedang pada lahan padi gogo, jagung dan kedele padi fase generatif berturut-turut 81,66 mg m-2jam-1, 93,13 mg m-2jam-1 dan 70,33 mg m-2jam-1. Pada lahan gambut yang didrainase dengan muka air tanah dipertahankan –25 cm, pelepasan CO2 ke udara jauh lebih tinggi pada lahan terbuka tanpa tanaman dibanding dengan pada lahan tanaman padi, jagung dan kedele. Emisi gas akan menurun seiring dengan menurunnya akumulasi radiasi matahari yang diterima karena penutupan tanah oleh kanopi tanaman.
Dibanding dengan pola tanam sawah dimana air tergenang dipertahankan dengan ketinggian genangan antara 5 – 10 cm, pelepasan CO2 sebesar 50,12 sampai 58,82 mg m-2jam-1, maka pelepasan CO2 pada lahan yang ditanam dengan pola tanam lahan kering jauh lebih tinggi dengan pola tanam sawah. Pada padi varietas yang sama ditanam dengan sistem ladang akan melepaskan CO2 dua kali lebih besar dibandingkan tanam sistem sawah. Sehingga mengusahakan lahan gambut dengan cara disawahkan secara langsung dapat menekan pelepasan karbon atau menghambat laju dekomposisi, dan secara tidak langsung dapat menekan terjadinya penurunan permukaan tanah atau subsidensi. Dengan demikian tanah gambut dapat diusahakan lebih lama bila dikelola dengan sistem sawah.
Stabilisasi Gambut
Sesungguhnya, pengembangan lahan rawa gambut tropika untuk usaha pertanian yang didasarkan atas sifat inheren gambut dan ciri bahan gambut dapat dilanjutkan karena ameliorasi lahan gambut dapat menghasilkan bahan gambut yang stabil. Pada bahan gambut, tiga karakteristik umum yang menentukan proses destabilisasi dan stabilisasi gambut sebagai bahan organik, yaitu recalcitrance, interaction, dan accessibility. Recacitrance ialah ciri bahan organik dalam gambut pada tingkat molekul meliputi komposisi unsur hara, kehadiran gugus fungsi, dan pembentukan molekul. Dalam proses stabilisasi, bahan gambut dapat menghasilkan bahan yang tahan terhadap perubahan bentuk atau sifat kimia tanah.
Dalam proses stabilisasi bahan gambut, diperlukan bahan pengendali untuk mempertahankan komposisi unsur, gugus fungsi karboksil (COOH) dan OH-fenol, sehingga gambut sebagai bahan organik tanah masih dalam kondisi yang stabil. Juga diperlukan bahan pengendali untuk mempertahankan interaksi antara molekul organik dengan molekul organik dan molekul anorganik, sehingga laju degradasi bahan organik dapat dihambat. Pengendalian untuk menurunkan aksesibilitas gambut sebagai bahan organik tanah dapat dilakukan dengan menghambat terjadinya proses dekomposisi bahan organik tanah.
Kendala kimia yang membatasi produktivitas lahan gambut di Indonesia disebabkan oleh rendahnya ketersediaan hara dan tingginya kandungan asam-asam organik beracun bagi tanaman. Masukan amelioran untuk mengatasi kemasaman tanah disatu sisi telah dapat mengatasi kemasaman tanah gambut sehingga produktivitas lahan meningkat, tetapi masukan amelioran tersebut juga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dalam merombak bahan organik gambut. Pemberian bahan kapur dapat meningkatkan pH tanah sehingga memberikan media aktivitas mikrobiologi tanah dalam keadaan optimum untuk mendegradasi gambut.
Fenomena ikatan antara logam dan asam organik memungkinkan beberapa kation dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan reaktivitas asam-asam fenolat, sehingga tidak membahayakan tanaman. Fenomena ini juga memberikan kestabilan bahan gambut terhadap kation bervalensi tinggi yang diperlukan untuk pengendalian dan mempertahankan komposisi unsur, gugus fungsi karboksil dan fenolik-OH, sehingga bahan organik gambut masih dalam kondisi yang stabil. Pemberian amelioran bahan tanah mineral berkadar besi tinggi telah dilakukan oleh Salampak (1999) dan terak baja oleh Suwarno dan Goto (1997a). Pemberian kation Fe3+ dengan dosis 5 persen erapan maksimum mampu menstabilisasi gambut dengan indikator penurunan sebesar 22,94 persen emisi CO2 dan 23,01 persen CH4 pada gambut Jambi, dan 27,67 persen CO2 dan 32,97 persen CH4 pada gambut Kalimantan Tengah (Sulistyono, 2000). Pemberian amelioran campuran terak baja dengan tanah mineral kaya Fe setara 5 persen erapan maksimum pada gambut pedalaman, transisi dan pantai, Kalimantan Tengah dapat menekan pelepasan CH4 untuk lahan padi sawah varietas IR-64, padi sawah varietas lokal, sistem tanam lahan kering padi gogo, jagung dan kedele berturut sebesar 68, 57, 63, 59 dan 57 persen, sementara pelepasan CO2 dari pola penggunaan lahan beragam komoditi tersebut berturut-turut menurun dengan pemberian amelioran sebesar 55, 49, 48, 50 dan 58 persen.
Pada lahan sawah dengan tinggi genangan yang dipertahankan pada kisaran 5-10 cm pada periode pertumbuhan dan masa pengisian bulir ditanam padi varietas IR-64 dan padi lokal, dan lahan yang dikelola dengan sistem lahan kering dimana muka air tanah dipertahankan pada kedalaman –25 cm ditanam padi gogo, jagung dan kedele tanpa diberi amelioran, total pelepasan karbon berturut-turut 2,25, 2,31, 3,65, 3,65 dan 3,74 ton C Ha-1 tahun-1.
Tetap saja bahwa ekosistem rawa merupakan ekosistem yang sangat fragile. Sampai saat ini semampu apapun dalam aplikasi bahan amelioran untuk stabilisasi gambut, pada kenyataannya konversi hutan tropik rawa gambut dalam upaya pengembangan pembangunan pertanian telah melahirkan lahan-lahan gambut yang kritis. Masalah bio-geokimia bila lahan rawa didrainase adalah ancaman percepatan dekomposisi bahan gambut yang dapat menyebabkan subsidensi dan pelepasan karbon dan nitrogen ke atmosfer.

Kesimpulan
Reklamasi dan konversi lahan rawa untuk pembangunan pertanian didasarkan pada eksistensi tata saluran yang intensif menyebabkan terjadinya subsiden, kering tak balik dan dekomposisi tanah gambut. Kondisi ini dapat menurunkan potensi gambut sebagai sumberdaya alam bagi pertanian.
Laju subsiden sangat dipengaruhi oleh kedalaman drainase. Pada gambut Riak Siabun Bengkulu dengan ketebalan 140-160 cm laju subsiden gambut fibrik akibat pembuatan saluran drainase rata-rata 3,52 cm tahun-1, sementara pada gambut dengan tingkat kematangan saprik rata-rata 2,0 cm tahun-1. Laju subsiden pada gambut rata-rata 2,5 cm tahun-1, dimana 70 persen dari subsiden ini disebabkan oleh dekomposisi bahan gambut. Pengolahan tanah konvensional untuk media tanaman padi gogo pada tanah gambut akan melepaskan CO2 sekitar 46 persen lebih tinggi dibanding tanpa olah tanah. Pelepasan CO2 pada lahan yang ditanam dengan pola tanam lahan kering dua kali lebih tinggi dengan pola tanam sawah.
Dalam proses stabilisasi bahan gambut, diperlukan bahan pengendali untuk mempertahankan komposisi unsur, gugus fungsi karboksil (COOH) dan OH-fenol, sehingga gambut sebagai bahan organik tanah masih dalam kondisi yang stabil. Stabilisasi gambut dengan amelioran kation bervalensi tinggi dapat menekan pelepasan karbon dari lahan gambut.