;

AGROEKOSISTEM

Daya Lenting Rapuh karena Slash and Burn
Oleh
Muhammad Faiz Barchia

Daya lenting tanah (soil resilience) adalah kemampuan tanah supaya pulih kembali ke kondisi semula setelah mengalami ‘stress’. Daya lenting tanah terjadi bila ada keseimbangan antara restorasi dan degradasi. Dalam kaitan dengan perladangan yang memakai pola pembukaan lahan dengan metode tebas-bakar (slash and burn), perladangan telah menjadi sorotan terhadap kerapuhan daya lenting tanah mineral masam di Indonesia. Lahan-lahan bekas perladangan berpindah menjadi wilayah yang tidak produktif dan bahkan tekanan penggunaan lahan yang tidak lagi mengikuti siklus yang panjang menyebabkan lahan bekas perladangan berpindah berubah menjadi lahan kritis.
Perladangan berpindah adalah suatu sistem pengelolaan lahan tradisional yang ada di Indonesia. Pada mulanya sistem ini tidak menimbulkan masalah yang serius karena lahan masih tersedia cukup banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk. Sistem perladangan berpindah sangat dekat dengan ciri ekosistem alam yaitu tanaman yang berguna bagi manusia diseleksi dan ditanam bersama-sama dalam satu lahan yang sama, sehingga berdasarkan tingkat keragaman hayati ekosistem perladangan lebih stabil dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur. Degradasi lahan dan erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sifatnya mendasar dan menonjol di tanah tropika lahan kering untuk pertanian tanaman pangan. Erosi merupakan penyebab utama kerusakan lahan dan lingkungan. Permasalahan degradasi lahan dan beratnya erosi disebabkan oleh 1) curah hujan yang mempunyai nilai erosivitas tinggi, 2) tanah peka erosi, 3) kemiringan lereng melebihi batas kemampuan lahan untuk tanaman pangan, 4) cara pengelolaan tanah dan tanaman yang salah termasuk kebiasaan membakar dan cara pembukaan lahan yang salah, dan 5) tindakan konservasi lahan yang belum memadai. Faktor lain yang mempercepat kerusakan lahan yaitu merosotnya kadar bahan organik karena pembakaran sisa tanaman dan pencucian hara. Permasalahan degradasi lahan dapat dihindari dengan pencegahan erosi sedini mungkin sejak lahan dibuka, perbaikan cara pembukaan lahan, program penggunaan lahan disesuaikan kemampuan lahan, dan dihindarkan pembukaan daerah yang tidak layak untuk pertanian.
Erosi adalah terangkutnya atau terkikisnya tanah atau bagian tanah ke tempat lain. Meningkatnya erosi dapat diakibatkan oleh hilangnya vegetasi penutup tanah dan kegiatan pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah. Erosi tersebut umumnya mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu erosi mengakibatkan terjadinya kemunduran sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sebagian besar tanah tropika terutama tanah Ultisols dicirikan oleh lapisan atas yang tebalnya hanya 15 sampai 20 cm, terletak di atas lapisan bawah yang secara umum sifat fisiknya lebih buruk (Suwardjo, dkk. 1984). Struktur tanah kurang gembur, konsistensi padat dan aerasi buruk. Tanah Untisols yang digunakan untuk agroekosistem lahan kering mempunyai lapisan atas yang tipis, peka erosi, dan tingkat kesuburannya rendah.
Degradasi lahan kering selama ini lebih tersorot pada kekeliruan pembukaan dan pengelolaan lahan oleh perladangan berpindah. Sistem pembukaan lahan dengan cara tebas-bakar (slash and burn) dan biasanya terletak pada lahan yang miring akan mengawali terjadinya erosi. Kebiasaan membakar kayu dan ranting sisa pembukaan lahan biasanya diteruskan oleh petani dengan membakar sisa tanaman. Bila pembakaran dilakukan hanya sekali saja waktu pembukaan lahan tidak akan banyak merusak tanah, tetapi pembakaran yang dilakukan berulang-ulang setiap musim akan lekas menurunkan kadar bahan organik tanah yang akhirnya menurunkan produktivitas tanah. Pembakaran sisa-sisa tanaman tiap tahun akan mempercepat proses pencucian dan pemiskinan tanah. Merosotnya kadar bahan organik tanah akan memperburuk sifat fisik dan kimia tanah. Struktur tanah menjadi tidak stabil, bila terjadi hujan maka pukulan butir hujan akan cepat menghancurkan agregat tanah, dan partikel-partikel tanah yang halus akan mengisi ruang pori. Terisinya ruang pori oleh partikel tanah menyebabkan turunnya kapasitas infiltrasi tanah dan meningkatkan aliran permukaan dan mempercepat laju erosi tanah. Hilangnya lapisan atas tanah karena erosi menyebabkan produktivitas lahan menurun, dan karena akan muncul horizon B yang kadar bahan organiknya rendah maka tanah akan terdegradasi.
Pada dasarnya perladangan berpindah adalah suatu bentuk penggunaan lahan yang seringkali dihubungkan dengan masyarakat tradisional yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan yang hidup relatif terisolir.
Perladangan berpindah lebih dicirikan oleh adanya pola daur pemanfaatan suatu lahan ketimbang jenis tanaman yang dihasilkan dari lahan yang bersangkutan, dan sering pula diterapkan bersamaan dengan teknik tebang bakar (FAO, 1990). Kegiatan perladangan berpindah pada berbagai masyarakat di Indonesia merupakan kegiatan ekonomi yang penting di dalam sistem produksi bahan makanan, dan pada berbagai situasi dapat mempengaruhi keamanan penyediaan pangan bagi banyak masyarakat di Indonesia (Zakaria, 1994). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, yang menunjukkan jumlah masyarakat Indonesia yang dinamakan peladang berpindah, dan estimasi pertumbuhannya.

Tabel 1 Jumlah peladang berpindah di Indonesia
1) FAO, (1990); 2) Zakaria, (1994)

Pada saat ini untuk mengimbangi laju kebutuhan pangan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, kebutuhan sumber daya lahan untuk pengembangan pertanian sangat besar, sementara ketersediaan lahan yang potensial tidak bermasalah semakin sempit. Kita dihadapkan pada masalah keterbatasan sumber daya lahan. Juga, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, sistem perladangan berpindah sudah tidak sesuai lagi karena sistem perladangan menggunakan sumberdaya lahan yang boros. Menurut Sutrisno dan Nurida (1995) perladangan berpindah adalah sistem pengelolaan lahan yang salah karena bersifat mengeksploitasi sumber daya alam tanah.
Secara teknis, perladangan berpindah dengan sistem tebang-tebas-bakar tidak menimbulkan kerusakan tanah yang berarti bila masa pengistirahatan (fallow period) lahan cukup lama. Pembakaran yang dilakukan pada tahap pembersihan lahan (land clearing) tidak selalu berpengaruh negatif terhadap tanah. Abu hasil pembakaran dapat meningkatkan pH tanah dan beberapa sifat kimia tanah. Perladangan berpindah dapat memperbaiki kesuburan tanah sesaat karena adanya akumulasi unsur hara yang berasal dari biomassa hutan karena adanya pembakaran. Biomassa dari hutan pinus tua berumur 32 tahun dapat menyuplai rata-rata 16 ton ha-1 bahan kering, dan abu yang dihasilkan dari pembakarannya sekitar 5 ton ha-1 (Boyle, 1973). Suplai nitrogen yang tinggi, sejumlah fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan unsur hara mikro dalam abu dapat menyediakan hara tanaman untuk penanaman pertama di lahan perladangan. Nilai pH tanah meningkat pada topsoil walaupun secara temporet, dan kejenuhan aluminium menurun. Pembakaran hutan sekunder yang berumur 17 tahun di wilayah tropika dapat menghasilkan abu sebanyak 4 ton ha-1, baik dalam bentuk arang, bahan yang terbakar sebagian dan abu. Unsur hara yang terlepas pada Ultisol dari hasil pembakaran biomassa hutan sebesar 57 kg N, 6 kg P, 38 kg K, 75 kg Ca, 16 kg Mg, 7.6 kg Fe, 7.3 kg Mn, 180 ppm Na, 137 ppm Zn, dan 79 ppm Cu (Seubert, 1975). Pada tanah Alfisols di Ghana, abu dari pembakaran vegetasi hutan dapat melepaskan 0.5 – 3.0 ton Ca, 180 kg Mg dan 600 – 800 kg K ha-1 (Nye dan Greenland, 1959). Vegetasi hutan yang dibuka pada tanah Oxisols dan Ultisols yang kejenuhan basa rendah menghasil unsur hara yang tidak jauh berbeda beberapa saat setelah pembakaran. Jumlah Ca, Mg dan K yang dilepaskan dari abu biomassa hutan berkisar antara 275 – 600 kg Ca ha-1, 30 – 80 kg Mg ha-1 dan 90 – 240 kg K ha-1 (Sanchez, 1976). Peningkatan semua parameter kesuburan tanah sangat nyata hasil dari pembakaran tetapi peningkatan ini dapat dimanfaatkan untuk usaha tani hanya untuk satu atau dua kali musim tanam. Setelah satu atau dua tahun, sifat-sifat tanah akan kembali sebelum terjadinya pembakaran, dengan permasalahan semua parameter kesuburan yang terdapat pada biomassa vegetasi hutan hilang tergerus pembakaran dan erosi.
Pembukaan lahan untuk perladangan di lahan kering dan pembakaran biomassa akan mempengaruhi beberapa parameter lingkungan. Perubahan secara temporer antara lain adalah penambahan dalam jumlah yang cukup besar dari unsur hara tanaman, peningkatan pH dan kejenuhan basa, distribusi yang tidak merata dari kandungan unsur hara tanah karena ada pembakaran ulang dari penumpukan cabang dan batang yang sebelumnya terbakar, dehidrasi koloid tanah karena adanya temperatur tinggi oleh pembakaran, penurunan aktivitas mikroorganisme tanah karena terjadi sterilisasi oleh pembakaran sehingga menurunkan populasi mikroorganisme tanah.
Pembukaan lahan mineral masam untuk penanaman singkong juga menurunkan kesuburan tanah secara drastis. Setelah dua tahun dan empat tahun pembukaan lahan untuk penanaman singkong di Lampung Tengah yang merupakan wilayah penghasil utama tapioka di wilayah Sumatera telah terjadi penurunan ketersediaan hara dan memburuknya karakteristik kimia tanah terutama ketersediaan Ca dan K (Tabel 2) (McIntosh dan Suryatna, 1978). Dari Tabel 4 terlihat bahwa penggunaan lahan untuk pengembangan tanaman singkong sangat menguras hara dan menurunkan kualitas tanah tropika. Terjadi penurunan kandungan hara K, Ca, Mg, sangat signifikan setelah 4 tahun penanaman singkong. Juga terjadi peningkatan Al terekstrak, sebaliknya P tersedia menurun secara drastis. Singkong adalah tanaman yang relatif toleran terhadap kemasaman tanah, tetapi tanaman ini lapar kation-kation basa terutama kation K.

Tabel 2. Karakteristik kimia tanah setelah 2 dan 4 tahun pembukaan lahan untuk tanaman singkong (McIntosh dan Suryatna, 1978).


Menurut Zakaria (1994) teknologi pemanfaatan sumber daya alam yang dikembangkan oleh masyarakat tradisional atau masyarakat lokal yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan tidak akan memadai lagi mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup mereka. Pola pertanian yang mereka terapkan selama ini bila tidak dimodifikasi, tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ketidakmampuan ini pada akhirnya akan mengancam kelestarian sumber daya lahan yang mereka usahakan selama ini. Dan, untuk mengembalikan daya lenting tanah pada kondisi kemampuan lahan sudah tergerus membutuhkan waktu yang sangat panjang. Mengingat restorasi kesuburan tanah terdegradasi memerlukan waktu yang sangat lama maka pengelolaan yang tepat perlu mendapat perhatian.





BIOREMEDIASI

BIOREMEDIASI
Oleh
Muhammad Faiz Barchia

Pencemaran lingkungan tanah semakin mendapat perhatian karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Seperti dijelaskan di atas bahwa sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan industri, pertambangan dan pertanian. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Bioremediasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan mikoriza dan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, dkk. 1994). Mikoriza dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimia atau penimbunan unsur tersebut dalam hipa cendawan. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara ditemukan adanya ’oil droplets’ dalam vesikel akar-mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun pada limbah yang diserap mikoriza tidak sampai diserap oleh tanaman inangnya.
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan mengakumulasi logam-logam dalam hipa ekstramatrik dan ’extrahyphae slime’ (Aggangan, dkk. 1998) sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremediasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hipa, juga dapat melalui mekanisme pembentukan komplek logam tersebut oleh sekresi hipa eksternal (Khairani-Idris, 2008). Perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polisiklik aromatik hidrokarbon dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, dimana dengan pemberian mikoriza laju penurunan hasil clover karena senyawa aromatik ini dapat ditekan (Joner dan Leyval, 2001).
Fauna tanah mampu mengikat dan mengakumulasi logam berat di dalam sel tubuhnya. Cacing tanah yang memakan tanah dapat mengakumulasi logam berat dalam tubuhnya seperti Pb dan Cd, dan cacing tanah dapat dijadikan fauna indikator untuk memonitor pencemaran tanah (Martin dan Bullock, 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa woodlice mampu mengakumulasi konsentrasi Cd dalam tubuhnya 50 kali lebih tinggi dari konsentrasi Cd dalam tanah di sekelilingnya, dan Cu hampir 36 kali lebih tinggi. Persoalan kemudian yang muncul dengan bioremediasi seperti ini yaitu pada jaring makanan (food chains, food webs) dimana akan terjadi perpindahan logam berat dari satu fauna ke fauna yang lain, dan antar fauna tanah memiliki daya tahan toksisitas yang berbeda.
Daya tahan pestisida pestisida di dalam tanah merupakan hasil akhir dari reaksi, pergerakan dan hancuran yang mempengaruhinya. Beragam rekayasa teknologi untuk merobak senyawa hidrokarbon ini telah diteliti. Penambahan bahan organik dan bahan pembenah tanah lainnya seperti pengapuran dan pemupukan serta diiringi dengan inokulasi mikroorganisme telah dilakukan. Intensifikasi pengolahan tanah yang dapat memberikan lingkungan yang optimum bagi aktivitas mikroorganisme untuk melakukan percepatan penghancuran senyawa aromatik karbon ini dicobakan. Bioremediasi dengan penerapan mikroorganisme untuk mempercepat transformasi karbon dan penggunaan tanaman yang dapat menimbun karbon dalam jaringannya telah menampakkan beberapa hasil yang cukup memberikan harapan dalam penanggulangan pencemaran pestisida ini.
Transformasi kimia dari bahan pencemar pestisida melalui proses bioremediasi ini meliputi beberapa proses, yaitu 1) detoksikasi, 2) degradasi, 3) konjugasi, pembentukan senyawa kompleks atau reaksi penambahan, 4) aktivasi, 5) defusi/pemecahan, dan 6) perubahan spektrum toksisitas (Gambar 1) (Alexander, 1977). Detoksikasi yaitu konversi dari molekul yang bersifat toksik menjadi produk yang tidak bersifat toksik, 2) degradasi, yaitu transformasi dari substrat kompleks menjadi produk yang lebih sederhana.

  1. Proses defusi/pemecahan (Flavobacterium)
  2. Aktivasi (tanah)
  3. Detoksinasi (Arthrobacter, tanah)
  4. Reaksi penambahan (Arthrobacter)
  5. Degradasi (Pseudomonas, tanah)
Gambar 1. Bioremediasi dari beberapa herbisida fenoksialkanoat (Alexander, 1977).

Detoksikasi adalah proses awal yang penting dari suatu proses degradasi dan 3) konjugasi, pembentukan senyawa kompleks, atau reaksi penambahan, dimana suatu organisme dapat menghasilkan substrat yang lebih kompleks dan mengkombinasikannya dengan pestisida dengan sel metabolis. Konjugasi atau pembentukan senyawa pengkompleks dapat dihasilkan dari organisme yang menghasilkan suatu asam amino, asam organik, methyl atau senyawa lain yang bereaksi dengan polutan membentuk substrat lainnya. Konjugasi adalah salah satu bentuk bioremediasi dari metabolisme mikroorganisme terhadap fungisida sodium dimethyldithiocarbamate, dimana mikroorganisme mengkompleks pestisida dengan asam amino pada sel. Aktivasi, 4) adalah konversi substrat yang nontoksik menjadi molekul toksik seperti bahan aktif awal dari pestisida. Sebagai contoh, herbisida 4- (2,4-dichlorophenoxy)butyric acid ditransformasi dan diaktivasi oleh mikroorganisme dalam tanah menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap gulma dan serangga (Alexander, 1977). Proses aktivasi ini lebih menekankan pada efisiensi penggunaan pestisida, atau aktivasi residu. Proses defusi, 5) yaitu konversi molekul nontoksik berasal dari pestisida yang sedang dalam proses aktivasi secara enzimatik, menjadi produk nontoksik yang tidak lagi dalam proses enzimatik, dan 6) perubahan spektrum toksisitas.