;

AGROEKOSISTEM LAHAN GAMBUT

AGROEKOSISTEM LAHAN GAMBUT


Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-orologi dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup. Nilai penting inilah yang menjadikan lahan rawa gambut harus dilindungi dan dipertahankan kelestariannya. Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam lahan rawa gambut secara bijaksana perlu perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Dengan langkah yang bijak maka mutu dan kelestarian sumberdaya lahan rawa gambut dapat dipertahankan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan pada ekosistem rawa tersebut. Informasi tentang sifat-sifat kritis dan fragile merupakan referensi yang sangat penting untuk menyusun perencanaan yang lebih akurat, pengoptimalkan pemanfaatan dan usaha konservasinya.
Kawasan rawa Indonesia diperkirakan seluas 39,4 juta Ha, sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, dan dari luasan tersebut hanya 9,4 juta Ha yang sesuai untuk usaha pertanian. Selanjutnya, dari luasan rawa di Indonesia, hampir 70 persen atau 32,4 juta Ha adalah rawa pedalaman dan 18 persen merupakan daerah pasang surut dimana sepertiga daerah pasang surut berasosiasi dengan sulfat masam.
Luas lahan gambut di Indonesia menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat. Pada kawasan rawa ditemukan dua jenis lahan yang sebarannya sangat luas, yaitu lahan gambut, dan lahan sulfat masam. (Taher, dkk. 1991). Gambut yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera, 90 persen arealnya merupakan gambut pedalaman. Ismunadji dan Soepardi (1982) melaporkan bahwa di Sumatera ditemukan gambut setebal 11 m, sedangkan Driessen dan Soepraptohardjo (1974) menyebutkan bahwa gambut setebal 15 m bisa dijumpai di sepanjang pantai Sumatera. Salah satu faktor pembatas yang sering diperbincangkan tentang pengelolaan gambut adalah hubungan negatif antara ketebalan gambut dengan produktivitas lahan. Makin tebal gambut, makin besar kendala biofisiknya, dan makin rendah produktivitas lahannya.
Peneliti lain mengungkapkan tentang luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta Ha atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Luasan lahan rawa gambut di Indonesia memberikan arti yang sangat penting bagi penjagaan ekosistem global karena sekitar 50 persen dari lahan gambut tropis dunia yang luasnya sekitar 40 juta Ha berada di daratan Indonesia. Namun, kondisi hutan dan lahan rawa gambut di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan terus menerus mengalami degradasi yang telah menunjukkan beragam efek lingkungan, yang tidak hanya berupa kerusakan ekosistem lokal, tetapi juga merambah pada kerusakan ekosistem regional dan diduga telah berimplikasi pada ekosistem global.
Gambut memang memiliki beberapa nilai penting baik yang bersifat ekstraktif maupun non-ekstraktif. Sebagai bahan ekstraktif gambut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, abu gambut dapat digunakan sebagai pupuk, diambil asam humatnya, media semai, media untuk reklamasi lahan kering. Sebagai bahan non-ekstraktif ia dapat berfungsi sebagai habitat pendukung keanekaragaman hayati, sebagai lahan kehutanan, perkebunan dan pertanian secara umum. Selain itu karena kemampuannya menyimpan air yang sangat besar yang dapat mencapai 90 persen dari volume maka lahan rawa gambut berfungsi sebagai kawasan penyangga hidrologi bagi kawasan sekitarnya yaitu mencegah banjir dimusim hujan, penyuplai air di musim kemarau, dan mencegah intrusi air laut.
Namun, dilandasi oleh pandangan bahwa lahan rawa berada pada fisiografi yang datar dan ketersediaan air yang berlebih, maka dimulai pada tahun 1970-an, lahan rawa di Indonesia direklamasi secara besar-besaran. Di beberapa wilayah seperti Riau, Sumatera Selatan, rawa pantai Barat Sumatera, beberapa wilayah Kalimantan, Kabupaten Merauke Papua, lahan rawa bahkan sangat penting karena merupakan sumberdaya lahan utama untuk pengembangan pertanian dan wilayah masa depan. Semua pakar ilmu tanah dan agronom saat itu melupakan tentang kendala biofisik lahan rawa gambut sebagai lahan yang marjinal dan fragile. Mereka abaikan bahwa lahan rawa gambut dan sulfat masam merupakan lahan marjinal yang memiliki beberapa kendala biofisik yang sukar diatasi, dan kerusakannya sangat tidak mungkin untuk dipulihkan kembali.
Banyak pengalaman dari pengembangan lahan rawa menunjukkan kegagalan. Pengembangan lahan rawa untuk mendukung pembangunan pertanian selama ini, terutama pertanian tanaman pangan tidak didasarkan pada sifat inheren dan karakteristik rawa itu sendiri. Sesungguhnya tanah-tanah pada ekosistem rawa merupakan tanah yang sangat marjinal dengan beragam faktor pembatas permanen, sehingga sebagian besar lahan rawa di Indonesia tidak layak dikembangkan untuk usaha pertanian secara permanen (permanently unsuitable). Beberapa penciri utama lahan rawa tidak sesuai secara permanen untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian yaitu ketebalan gambut > 150 cm, gambut teronggok di atas tanah pasir, adanya lapisan pirit (Fe2S).
Tanah mineral pada ekosistem rawa merupakan tanah alluvial yang dapat berupa endapan laut (marine sediment), endapan sungai (fluviatile sediment) atau campuran keduanya (fluviatile-marine sediment). Biasanya tanah endapan laut mempunyai lapisan mengandung senyawa sulfida, yang sebagian besar adalah mineral pirit. Tanah yang mempunyai lapisan sulfidik, atau lapisan pirit dengan kadar S > 0.75 persen disebut sulfat masam, yang dibedakan atas sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Pada sulfat masam potensial, proses pemasaman belum berjalan, sedangkan pada sulfat masam aktual telah berlangsung. Proses pemasaman terjadi bila aerasi mencapai lapisan pirit, sehingga mengalami oksidasi melepaskan asam sulfat (Widjaya Adhi, 1990). Reklamasi rawa yang tidak bijak dapat menimbulkan drainase berlebihan (overdrainage) sehingga lapisan pirit terungkap dan teroksidasi membentuk asam sulfat yang kemudian asam sulfat yang terlarut dapat memasuki daerah perakaran tanaman. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan pertanian di lahan rawa sulfat masam adalah kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara. Proses-proses kimia yang terjadi bila lapisan pirit teroksidasi yaitu meningkatnya kemasaman tanah, meningkatnya kelarutan Al, Fe, dan Mn yang dapat meracuni tanaman, dan penurunan ketersediaan P.
Produktivitas lahan rawa untuk pengembangan pertanian sesungguhnya sangat rendah dan pengelolaannya dihadapkan dengan persoalan yang serba kompleks. Kekeliruan dalam pengelolaan tata air menimbulkan persoalan fisik, kimia maupun biologi. Kendala fisik pada pengelolaan gambut adalah terjadinya proses kering tidak balik yang dapat membentuk debu-debu gambut (pseudosand) dan penurunan muka lahan gambut.
Gambut terbentuk di wilayah depresi karena adanya penimbunan bahan organik tumbuhan rawa pada kondisi yang tergenang atau anaerob sehingga bahan gambut memiliki karakteristik kerapatan volume (bulk density) yang rendah. Pada kenyataannya lebih dari 60 persen kawasan gambut di beberapa propinsi di Indonesia mempunyai kedalaman > 150 cm (Taher, dkk., 1991). Perubahan penggunaan lahan rawa tanpa menghiraukan faktor pembatas seperti pembukaan lahan dengan karakteristik ketebalan gambut > 150 cm menyebabkan gambut mengalami kering tidak balik (irreversible drying), subsidensi, pemampatan dan dekomposisi dipercepat. Sehingga, pada saat suplai air berlebihan masuk di lahan gambut yang sering terjadi di musim hujan maka hamparan gambut seperti membentuk bahan yang terapung pada kolam raksasa.
Embrio terbentuknya bentangan pasir dan media tanam lapisan catclay di beberapa bekas lahan rawa menunjukkan bahwa pengelolaan rawa/gambut selama ini tidaklah bijaksana. Ketidakmampuan petani untuk membeli pupuk yang semakin hari semakin mahal harganya menyebabkan petani memanfaatkan bahan gambut untuk bahan penyubur tanah. Bahan gambut dibakar untuk ditampung abunya kemudian disebar pada daerah perakaran tanaman yang mereka budidayakan. Belum lagi percepatan proses dekomposisi gambut karena gambut teroksidasi dan dirangsang juga dengan penambahan unsur-unsur yang dapat meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah, kandungan bahan organik tanah akan mengalami percepatan penurunan. Beberapa peta tanah yang selama ini menjadi referensi sudah saatnya diperbaharui, tanah-tanah histosol sebelum rawa direklamasi pada wilayah-wilayah tertentu yang selama ini dicatat sebagai lahan gambut perlu dikoreksi karena tanah tersebut sudah menjadi tanah Entisol berpasir (Psamment) atau Sulfaquent.
Selanjutnya, dalam pengembangan lahan gambut persoalan klasik yang dihadapi dalam bercocok tanam untuk usaha pertanian adalah kesuburan tanah yang rendah, dan adanya degradasi lignin yang menghasilkan asam-asam organik beracun bagi tanaman terutama asam-asam fenolat. Banyak penelitian mengungkap hasil percobaan pertanian di lahan rawa dengan tipe gambut ombrogen mengalami gagal tumbuh dan gagal panen. Disimpulkan bahwa tanah gambut memiliki tingkat kesuburan yang marjinal. Keadaan ini dicirikan dengan reaksi tanah gambut yang masam hingga sangat masam, ketersediaan hara makro dan mikro yang rendah, erapan unsur mikro yang tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi, dan ketersediaan kation-kation basa dan kejenuhan basa yang rendah. Mengapa penelitian dengan validitas referensi yang memadai tetapi percobaan dilakukan dengan tingkat perlakuan yang optimal tetap mengalami gagal hasil.
Banyak penelitian selama ini lebih terarah pada kajian yang bersifat kasuistik dan tidak dilandasi dengan kajian yang komprehensif tentang karakteristik inheren gambut, sehingga terapan pada pengembangan usaha tani banyak mengalami kegagalan. Gambut sesungguhnya mempunyai karakteristik yang spesifik, baik secara fisik, kimia, maupun biologinya. Biogeokimia gambut menunjukkan watak dan ciri yang berbeda dengan tanah-tanah mineral. Sebagai contoh, koloid mineral merupakan bagian yang integral dengan fisiko-kimia liat, tetapi koloid gambut adalah bagian yang melayang dan terintegasi dengan larutan dan/atau air gambut. Jadi teropong uji yang utama dalam kaitan dengan kesuburan tanah gambut adalah menelaah secara mendalam biogeokimia air gambut itu sendiri.
Persoalan kemasaman tanah gambut sesungguhnya adalah bagaimana menurunkan aktivitas asam-asam organik meracun tanaman. Banyak hasil penelitian telah menunjukkan beragam derivat asam-asam organik dapat menekan pertumbuhan dan hasil tanaman. Pada konsentrasi yang sangat rendah, derivat asam-asam organik telah mengganggu perkembangan fisiologis tanaman. Jadi, kajian mengatasi kemasaman tanah tanpa menyentuh persoalan bagaimana mengkelat asam-asam organik gambut terutama asam-asam fenolat menyebabkan banyak percobaan penanaman dengan perlakuan dengan referensi optimal pada tanah mineral mengalami gagal tumbuh tanaman di tanah gambut.
Secara umum masalah pengembangan ekosistem rawa untuk lahan usaha tani antara lain: 1) permasalahan dalam reklamasi meliputi aksesibilitas, pembersihan lahan, efek subsidensi, kebanjiran, kapasitas daya dukung konstruksi bangunan yang rendah, 2) permasalahan agronomik, yaitu kemasaman tanah, kesuburan rendah, defisiensi unsur hara, toksisitas, kering tidak balik, erosi tinggi terutama erosi permukaan oleh angin, daya sangga perakaran buruk, perlu adanya perlakuan khusus dalam mengatasi kesuburan baik dari jumlah, waktu dan pertimbangan efisiensi, dan 3) masalah pengelolaan lahan dan air, yaitu kesulitan pembuatan konstruksi bangunan dan penerapan teknologi mekanisasi, permukaan lahan yang tidak teratur, adanya subsidensi yang menyebabkan permasalahan khusus dalam usaha drainase lahan (Suratman, 1999).
Sesungguhnya, pengembangan lahan rawa gambut tropika untuk usaha pertanian yang didasarkan atas sifat inheren gambut dan ciri bahan gambut dapat dilanjutkan karena ameliorasi lahan gambut dapat menghasilkan bahan gambut yang stabil. Pada bahan gambut, tiga karakteristik umum yang menentukan proses destabilisasi dan stabilisasi gambut sebagai bahan organik, yaitu recalcitrance, interaction, dan accessibility. Recacitrance ialah ciri bahan organik dalam gambut pada tingkat molekul meliputi komposisi unsur hara, kehadiran gugus fungsi, dan pembentukan molekul. Dalam proses stabilisasi, bahan gambut dapat menghasilkan bahan yang tahan terhadap perubahan bentuk atau sifat kimi tanah (Sollin, dkk. 1996).
Dalam proses stabilisasi bahan gambut, diperlukan bahan pengendali untuk mempertahankan komposisi unsur, gugus fungsi karboksil (COOH) dan OH-fenol, sehingga gambut sebagai bahan organik tanah masih dalam kondisi yang stabil. Juga diperlukan bahan pengendali untuk mempertahankan interaksi antara molekul organik dengan molekul organik dan molekul anorganik, sehingga laju degradasi bahan organik dapat dihambat. Pengendalian untuk menurunkan aksesibilitas gambut sebagai bahan organik tanah dapat dilakukan dengan menghambat terjadinya proses dekomposisi bahan organik tanah.
Peningkatan produktivitas rawa melalui stabilisasi bahan gambut dapat dilakukan dengan aplikasi amelioran dengan unsur logam bervalensi tinggi. Karena, setiap aspek kimia kation polivalen dalam tanah berhubungan dengan pembentukan kompleks logam organik dimana kation-kation polivalen cenderung membentuk ikatan polidentat yang menempati posisi dua atau lebih ikatan.
Tetapi tetap saja bahwa ekosistem rawa merupakan ekosistem yang sangat fragile. Sampai saat ini semampu apapun dalam aplikasi bahan amelioran untuk stabilisasi gambut, pada kenyataannya konversi hutan tropik rawa gambut dalam upaya pengembangan pembangunan pertanian telah melahirkan lahan-lahan gambut yang kritis. Terungkapnya lapisan tanah sulfat masam di Air Sugihan Sumatra Selatan, meranggasnya hutan belukar rawa di Kalimantan Tengah, terungkapnya lapisan lahan usaha tani berpasir di Bengkulu menunjukkan bahwa fragile land gambut dirambah atau dikelola dengan tidak memperhatikan prinsip konservasi dan tidak mengindahkan kaidah keberlanjutannya (sustainable use). Stabilitas gambut yang sangat rentan terhadap intervensi, bila dieksploitasi berlebihan akan kehilangan fungsinya tidak hanya pada level dinamika hidrologi, biogeokimia, dan ekologi, tetapi juga akan kehilangan pada tataran fungsi sosialnya.
Ekosistem rawa merupakan proses, fungsi, dan struktur dinamis dari ekosistem itu sendiri dengan atribut yang mendukung nilai-nilai sosial. Atribut dari struktur ekosistem antara lain sebagai wilayah penyangga pelestarian plasma nutfah (biodiversity), memiliki keunikan, di dalamnya tersimpan warisan dan budaya kearifan lokal, serta ladang penggalian ilmu pengetahuan. Lahan gambut juga tempat penyedia bahan-bahan bangunan, energi, dan sumber pangan tanaman, ikan dan binatang buruan buat masyarakat tradisional. Secara eko-hidrologis, lahan gambut adalah wilayah penampung air untuk melindungi wilayah sekitar dari kebanjiran, dan menjaga kontinuitas penyediaan air sepanjang tahun. Juga, untuk menjaga kualitas air karena gambut dapat menjadi filter dari pencemaran. Dengan demikian, perhatian yang lebih besar terhadap pengelolaan agroekosistem rawa perlu dilakukan lebih konsepsional.
Pengembangan rawa pasang surut penting artinya, tetapi kendala biofisik wilayah lebih berat. Hampir sepertiga lahan pasang surut berasosiasi dengan masalah sulfat masam yang sampai saat ini belum ditemukan teknologi pengelolaannya yang efektif, produktif, dan terjangkau oleh petani. Juga, pengelolaan rawa gambut, terutama gambut pedalaman, potensi sumberdaya gambut sangat besar, keserbagunaan gambut dalam berbagai aspek teknis juga sangat menonjol. Pemanfaatan rawa di masa mendatang perlu dirumuskan lebih strategis. Keterbatasan teknologi produktif dan adaptif pada sosio-agroekosistem marjinal menghendaki konsepsi dan prioritas yang efektif, agar proyek pengembangan rawa tidak berkonotasi sebagai penambahan sentra kemiskinan baru di Indonesia, sekaligus sebagai perusak iklim global.
Masalah biologi bila lahan rawa didrainase adalah ancaman percepatan dekomposisi bahan gambut yang dapat menyebabkan subsidensi dan pelepasan karbon dan nitrogen ke atmosfer. Ekosistem rawa merupakan tempat pemendaman bahan organik. Estimasi jumlah bahan organik yang terpendam dalam rawa di Indonesia sebesar 60,5 milyar m3 (Rosmarkam, 1988). Bahan organik ini melalui proses biokimianya banyak menghasilkan asam-asam organik beracun, terutama asam-asam fenolat, gas metan (CH4), dan karbon dioksida (CO2). Pelepasan dua bentuk karbon ini sangat menentukan efek rumah kaca (greenhouse effect) yang dapat meningkatkan pemanasan global (global warming). Dalam catatan IPCC (1990) bahwa pada tahun 1980 sumbangan CO2 terhadap akumulasi gas rumah kaca di atmosfer sebesar 55 persen dan CH4 sebesar 15 persen. Sebagai referensi tambahan terhadap kegamangan akibat pelepasan karbon dari lahan gambut terhadap pelepasan gas rumah kaca diilustrasikan bahwa dalam laporan ADB bawah kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton atau 75 persen dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu, dan kemudian informasi ini diperbaharui dimana pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2,6 milyar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak bijaksana, laju pelepasan CH4 dan CO2 meningkat yang dapat berimplikasi pada peningkatan pemanasan global.