;

PESTISIDA DAN POLUSI TANAH

Oleh
Muhammad Faiz Barchia


Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan hama. Lebih dari sepuluh ribu spesies insekta, gulma, nematoda dan penyakit yang dapat menyerang tanaman yang dibudidayakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengubah keseimbangan ke arah yang menguntungkan manusia seperti pemilihan kultivar tanaman agar dapat mengatasi dan melawan gulma, hama dan penyakit tanaman. Penggunaan bahan kimia untuk mengendalian hama telah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu seperti penggunaan bubur Bordeaux, campuran kapur dan belerang, larutan arsenik, ataupun insektisida alami. Hampir setiap usaha pertanian sejumlah bahan kimia digunakan untuk memberantas gulma, hama dan penyakit, sehingga saat ini banyak sekali jenis pestisida yang digunakan untuk memberantas gangguan hama dan penyakit terhadap tanaman. Keuntungan sesaat untuk mempertahankan produksi pertanian sudah banyak diperoleh dengan penggunaan pestisida, tetapi beragam masalah lingkungan telah pula ditimbulkannya.
Beberapa masalah yang timbul akibat penggunaan pestisida, yaitu telah munculnya kekebalan pada berbagai organisme hama terutama serangga, sehingga untuk memberantasnya diperlukan dosis yang lebih tinggi, timbulnya sisa-sisa pestisida yang mencemari tanah pertanian dan sistem drainase, dan timbulnya efek merusak dari bahan kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Pemberantasan nematoda pada media persemaian tanaman sering berimplikasi terhadap keragaman flora dan fauna tanah pada media semai tersebut. Penggunaan pestisida untuk memberantas hama atau penyakit tertentu sering mensterilisasi ekosistem tanah, sehingga bakteri dan fungi menurun populasinya di dalam tanah. Pengaruh pestisida cukup serius terhadap mikroorganisme pada mineralisasi nitrogen dan nitrifikasi. Masalah-masalah di atas sampai saat ini belum dapat ditanggulangi, sedangkan tanah yang menjadi media tumbuh tanaman pertanian dan biodiversitas penghuni ekosistem tanah menanggung beban yang amat berat karena telah menjadi tempat terakumulasinya bahan pencemar sisa pestisida.
Pestisida yang banyak digunakan saat ini mencakup insektisida, fungisida, herbisida, nematisida, moluskisida, dan akarisida. Di antara pestisida di atas, herbisisida semakin meningkat setiap tahun seiring dengan usaha peningkatan produksi pertanian. Saat ini penggunaan herbisida di dunia mencapai 49.6% dari volume total pestisida (Merrington, dkk. 2002). Dinamika residu pestisida dalam tanah sangat beragam, ada yang mudah larut dalam tanah, dan ada juga yang dapat difiksasi oleh koloid tanah seperti herbisida Paraquat. Paraquat (1,1’-dimethyl-4,4’-dipyridylium dichloride) merupakan herbisida kontak dari golongan piridin yang digunakan untuk mengendalikan gulma yang diaplikasikan purna tumbuh (Humburg, dkk. 1989). Herbisida paraquat merupakan bagian dari kelompok senyawa bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis dan relatif stabil pada suhu, tekanan dan pH normal. Hal ini memungkinkan paraquat teradsorpsi sangat kuat oleh partikel tanah yang menyebabkan senyawa ini dapat bertahan lama di dalam tanah (Sastroutomo, 1992).Paraquat diketahui sebagai senyawa yang sangat toksik, dan keberadaannya di dala tanah sebesar 20 ppm mampu menghambat perkembangan dan aktivitas bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani, dkk. 2001).
Herbisida Paraquat bila terdisosiasi akan membentuk kation dalam larutan tanah dan akan difiksasi oleh pertukaran kation pada muatan negatif permukaan koloid tanah. Sebagai herbisida kationik, paraquat akan terionisasi sempurna dalam larutan tanah membentuk kation divalen dengan muatan positif terdistribusi di sekeliling molekul, dan paraquat akan segera teradsorpsi dan menjadi tidak aktif ketika kontak dengan koloid tanah (Muktamar, dkk. 2003). Koloid mineral dan organik tanah adalah komponen aktif tanah yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses adsorpsi dan desorpsi herbisida di dalam tanah dan lingkungan. Ikatan Paraquat yang terdisosiasi dengan koloid berbentuk ikatan kovalen sehingga fiksasi residu herbisida ini sangat kuat, sehingga menjadi tidak aktif di dalam tanah. Paraquat dapat masuk dalam ikatan antar lapisan kristal liat sehingga sangat kuat difiksasi secara kovalen. Afinitas mineral tanah terhadap paraquat sangat tinggi pada konsentrasi paraquat rendah, tetapi dengan semakin tinggi konsentrasinya di dalam tanah dimana kapasitas adsorpsinya telah terjenuhi maka paraquat akan terkonsentrasi pada larutan tanah.
Tingginya konsentrasi paraquat dalam larutan tanah, apabila datang hujan, paraquat akan terbawah oleh aliran perkolasi ke dalam tubuh tanah dan masuk ke dalam sistem drainase sehingga dapat mencemari lingkungan. Adsorpsi herbisida oleh partikel tanah akan menyebabkan herbisida tersebut tidak efektif dalam mengendalikan gulma dan bila akumulasinya di dalam tanah tinggi, maka hal ini merupakan suatu residu yang dapat mencemari lingkungan. Muktamar, dkk (2003) dari penelitiannya pada bahan mineral Ultisol yang memiliki KTK 14.5 cmol kg-1 dan kadar liat 54%, dan pada bahan mineral Entisol berkadar liat 38% dengan KTK 10.5 cmol kg-1 menghasilkan persamaan adsorpsi paraquat seperti berikut :
Y = 0.15 + 1.89X (r2 = 0.99, pada Ultisol)
Y = 1.13 + 0.67X (r2 = 0.92, pada Entisol)
Selanjutnya bila paraquat dicobakan dengan erapan bahan organik akan memberikan persamaan adsorpsi sebagai berikut (Muktamar, dkk. 2004) :
Y = 0.0145 + 0.14X (r2 = 0.91)
Dimana Y = adsorpsi paraquat (cmol kg-1); X = konsentrasi paraquat yang diberikan (mol L-1). Dari kedua persamaan pertama terlihat bahwa paraquat yang diberikan pada tanah Ultisol akan teradsorpsi sempurna pada dosis yang diberikan 0.53 mol L-1 (100 ppm) sampai 1.61 mol L-1 (300 ppm), dan pada Entisol paraquat akan teradsorpsi sempurna antara 0.53 mol L-1 sampai 1.07 mol L-1 (200 ppm). Sementara pada bahan organik walaupun membentuk garis linier terlihat bahwa erapan mengikuti pola isoterm tipe L, yang merupakan bentuk normal isoterm Langmuir yang mewakili afinitas yang relatif tinggi dari adsorben yaitu bahan organik tanah, dan zat terlarut dalam hal ini paraquat dimana pada level awal isoterm dan level off pada saat adsorpsi maksimum. Kapasitas adsorpsi maksimum dicapai pada nilai 7.14 cmol kg-1, sehingga di atas kapasitas ini dimungkinkan pemberian paraquat akan masuk ke dalam sistem larutan tanah. Selanjutnya dikatakan bahwa pada saat konsentrasi herbisida paraquat di dalam larutan kesetimbangan > 0.6 mmol L-1, terdapat erapan yang tidak menggambarkan mekanisme yang jelas. Erapan ini dianggap sebagai refleksi dari mekanisme lain selain adsorpsi seperti chemisorption atau ligan exchange. Sebenarnya model erapan tersebut dapat saja terjadi pada mekanisme diffuse-ion swam.
Sebaliknya, banyak pestisida yang tidak diikat dengan erapan kuat di permukaan koloid tanah, sehingga residu pestisida ini dapat tercuci bahkan sampai ke aliran air bawah tanah atau akuifer. Menurut Suparno (1999), bila herbisida tidak teradsorpsi kuat oleh partikel tanah atau mengalami desorpsi oleh air hujan, maka kemungkinan herbisida tersebut terbawa oleh aliran permukaan menuju air tanah (ground water).
Residu pestisida dengan koefisien erapan rendah akan mudah termobilisasi di dalam tanah. Pergerakan di dalam tanah dapat melalui difusi dan aliran massa. Kebanyakan pergerakan pestisida melalui difusi, tetapi pergerakan melalui aliran massa sangat menentukan penyebaran residu pestisida di dalam tanah. Pergerakan residu pestisida di dalam tanah melalui aliran massa ini sangat dipengaruhi oleh konduktivitas hidrolik tanah dan kelebihan curah hujan atau irigasi. Desorpsi paraquat dapat menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan perairan, sehingga dapat menurunkan kualitas air sebagai sumber kehidupan dan mempengaruhi kehidupan organisme lain yang bukan sasaran. Paraquat di dalam tanah dengan konsentrasi 20 ppm dapat menghambat pertumbuhan bakteri Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen (Martani, dkk. 2001).
Kebanyakan herbisida yang digunakan saat ini berbahan aktif, glyphosate yang bersifat tidak selektif. Herbisida ini dapat mengendalikan semua gulma melalui beragam mekanisme seperti reduksi klorofil dan karotenoid. Herbisida Glyphosate 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) bersifat sistemik, yaitu pestisida ini dapat terserap ke dalam jaringan tanaman. Karena bersifat sistemik, residu pestisida ini mudah ditranslokasikan oleh tanaman ke daerah perakaran/rizosfer, mikroorganisme di rizosfer akan terganggu keseimbangannya. Penggunaan beragam pestisida dapat merusak populasi mikroorganisme di daerah perakaran. Nodulasi pada kacang-kacangan sering terganggu atau tidak terbentuk nodul karena penggunaan pestisida.
Insektisida merupakan pestisida yang cukup besar diproduksi dan digunakan pada sektor pertanian di Indonesia selain herbisida dan fungisida. Ada tiga golongan insektisida yang terkenal sebelum dan selama ini, yaitu 1) golongan organokhlorin, 2) golongan organofosfat, dan 3) golongan karbamat.
Golongan pestisida organokhlorin ini mempunyai tiga sifat utama, yaitu merupakan racun yang universal, degradasinya berlangsung sangat lambat, dan larut dalam lemak. Pestisida ini merupakan senyawa yang tidak reaktif, bersifat stabil, dan persisten, serta terkenal sebagai ’broad spectrum insectisides’, yaitu jenis pestisida yang paling banyak menimbulkan masalah. Oleh karena itu pestisida golongan organokhlorin di Indonesia tidak diperkenankan lagi untuk dipergunakan pada sektor pertanian. Jenis organokhlorin yang dikenal sebelum ini yaitu DDT, endrin, dieldrin, lindane, aldrin, chlondane.
Golongan insektisida organofosfat digunakan sebagai pengganti DDT setelah adanya pelarangan terhadap DDT di Indonesia. Golongan pestisida ini sangat potensial, bersifat selektif dan efeknya cepat, tidak menimbulkan toleransi pada serangga apabila diberikan dengan takaran, cara dan saat yang tepat, serta irreversible, artinya enzim cholinestesarase yang terikat pestisida ini tidak dapat berfungsi normal kembali tanpa dipisahkan ikatannya dari organofosfat. Oleh karena itu pestisida ini mempunyai sifat lebih toksik terhadap manusia daripada pestisida golongan organokhlorin walaupun golongan organofosfat dapat dinonaktifkan (deaktifasi) di lingkungan (Ahmadi, 1994). Golongan organofosfat diantaranya adalah parathion, malathion, syntox, chlorthion, decaptan, diazinon, dan phosdrin.
Pestisida golongan karbamat merupakan derivat asam karbonik dengan rumus RHNCOOR. Sifat pestisida ini mirip dengan pestisida golongan organofosfat, tidak berakumulasi dalam sistem kehidupan, tetap agak cepat menurun. Toksisitasnya bermacam-macam adalah yang lebih kecil dari DDT dan ada juga yang lebih besar empat kali DDT. Penggunaan pestisida ini sudah cukup luas, baik pada bidang pertanian maupun bidang kesehatan masyarakat. Jenis golongan karbamat antara lain furadan, ferban, baygon, carbaryl (Sevin).
Namun, saat ini penggunaan pestisida telah menimbulkan berbagai masalah. Masalah pertama adalah timbulnya kekebalan pada berbagai organisme hama, sehingga untuk memberantasnya memerlukan dosis yang lebih tinggi; kedua, timbulnya residu pestisida yang mencemari lingkungan; dan ketiga, timbulnya efek merusak dari bahan kimia terhadap organisme yang bukan sasaran. Banyak pestisida yang dikembangkan saat ini bersifat selektif terhadap target gulma, hama dan vektor penyakit, tetapi hampir tidak mungkin pestisida tersebut tidak kontak dengan non target, bahkan petani pemakai sendiri dapat terkena dampaknya. Pada umumnya petani sering menggunakan pestisida bukan atas dasar keperluan secara indikatif, tetapi mereka menjalankan cara ’cover blanket system’, yaitu ada atau tidak ada hama tanaman tetap dilakukan penyemprotan dengan pestisida yang membahayakan dan teknik penyemprotan yang tidak memenuhi standar prosedur yang benar. Terhadap manusia lainnya, bahwa pestisida yang disemprotkan pada tanaman pangan akan meninggalkan residu dalam tanaman sehingga dapat mempengaruhi hewan atau manusia yang mengkonsumsinya.
Pestisida yang diaplikasikan dalam produksi pertanian dapat berimplikasi pada perubahan keseimbangan ekologi tanah, baik merusak organisme non target maupun merubah karakteristik fisiko-kimia tanah yang berimplikasi pada komposisi organisme tanah.Tanah yang menjadi tempat tumbuh dan hidupnya organisme menanggung beban yang amat berat karena dapat menjadi tempat terakumulasinya residu pestisida. Aplikasi pestisida dilakukan dengan memberikannya ke tanah, dan ke tanaman melalui penyemprotan. Pestisida yang disemprotkan pada tanaman dapat terakumulasi ke tanah karena kelebihan penyemprotan, aliran melalui batang tanaman, translokasi dalam jaringan tanaman ke tanah melalui akar atau dari sisa tanaman. Menurut Rasyidi (2008) pestisida merupakan sumber dari non point source (NPS) pollutants yang digunakan dalam budidaya pertanian dan dapat menyisakan residu dalam tanah, tanaman, dan air. Air hujan dapat melarutkan pestisida yang tertahan dalam permukaan tajuk tanaman, cabang dan ranting, selanjutnya mengalir ke permukaan tanah. Melalui peristiwa infiltrasi, larutan pestisida tersebut dapat masuk ke dalam tanah, dan/atau terbawa aliran permukaan, yang selanjutnya masuk ke dalam sungai atau badan air lainnya, dan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Sayuran merupakan komoditas dengan penggunaan pestisida relatif tinggi dibanding komoditas lainnya. Hasil peneliti Abdul-Muti, dkk (2000) memperlihatkan tanah pada budidaya sayuran diketahui mengandung residu pestisida yang berbahaya seperti BHC, endosulfan, dan dieldrin (senyawa organoklorin), klorpirifos (organofosfat), dan karbonfuran (karbamat) (Tabel 3).

Tabel 3. Residu bahan aktif pestisida di dalam tanah pada pertanaman sayuran dataran tinggi Pangalengan (Abdul-Muti, dkk. 2000)
1) BHC; 2) Klorpirifos; 3) Endosulfan; 4) Karbofuran; 5) Dieldrin

Di antara berbagai macam pestisida, ada beberapa jenis yang resisten atau sukar terdegradasi dengan paruh waktu (half time) lama, sehingga residu pestisida tersebut dapat bertahan lama di dalam tanah dan tanaman. Beberapa penelitian membuktikan bahwa residu pestisida dari senyawa organoklorin, seperti lindan, aldrin, dieldrin, heptaklor, DDT, dan endrin masih ditemukan di dalam tanah dan air, meskipun jenis-jenis insektisida tersebut sebenarnya sudah dilarang kecuali endosulfan yang masih dipergunakan sampai sekarang. Hal tersebut membuktikan bahwa insektisida dari senyawa organoklorin sangat resisten, padahal penggunaannya telah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu. Tingkat persistensi insektisida organoklorin dapat mencapai 30 tahun. Abdul-Muti, dkk (2000) mendapatkan adanya residu bahan aktif pestisida dengan kandungan yang umumnya telah melampaui batas ADI (acceptable daily intake) di dalam tanaman seperti kentang, tomat, kubis, dan cabe.

0 komentar