;

SAMPAH dan MULTIFUNGSI PERTANIAN (Potensi Bengkulu)


Oleh
Muhammad Faiz Barchia

Selain menghasilkan barang yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangiable and marketable), pertanian juga dapat menghasilkan berbagai jenis jasa yang tidak tampak nyata (intangiable). Berbagai jasa atau fungsi positif yang diperankan oleh sektor pertanian dikenal dengan istilah multifungsi pertanian. Salah satu fungsi dari multifungsi pertanian dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran dan lingkungan, yaitu penampung sampah organik.
Pendaurulangan sampah organik sebagai salah satu bentuk multifungsi pertanian sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Adanya permasalahan sampah yang masih banyak dihadapi oleh berbagai daerah di Indonesia bila tidak didapatkan jalan pemecahannya yang tepat maka sampah kota akan menjadi sumber utama pencemaran. Pembuangan sampah secara terbuka (open dumping) berakibat meningkatnya intensitas pencemaran.
Propinsi Bengkulu dengan jumlah penduduk 1.517.181 jiwa dan dari jumlah tersebut sebagian hidup di ibukota-ibukota kabupaten/kota merupakan potensi penghasil sampah yang cukup besar. Kota Bengkulu saja dengan jumlah penduduk 252.199 jiwa akan mampu menghasilkan sebanyak 370 m3 hari-1, dan dengan tingkat layanan sebesar 35%, maka potensi sampah pada TPA Air Sebakul dapat mencapai 130 m3 hari-1. Sampai saat ini sampah yang dibuat di TPA-TPA di ibukota-ibukota kabupaten/kota Bengkulu belum dikelola dengan cara didaur ulang (recycle) dan digunakan kembali (reuse). Contoh lain adalah di kota Curup, dengan jumlah penduduk 114.516 jiwa maka potensi produksi sampah kota Curup dapat mencapai 212 m3 hari-1 sementara volume sampah terangkut sebesar 83 m3 hari-1. Tentu ini adalah potensi bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan kompos sampah kota.

Kebijakan pengelolaan sampah selama ini lebih berorientasi pada usaha memindahkan sampah yang tersebar ke satu lokasi akhir pembuangan sampah, tanpa proses pemilahan, daur ulang, dan pemanfaatan ulang sampah terlebih dahulu. Konsep reuse dan recycle dalam pengelolaan sampah merupakan konsep yang mengupayakan pemanfaatan kembali sampah atau barang yang tidak berguna, dan pendaurulangan sampah menjadi barang lain yang bernilai ekonomis. Konsep reuse dan recycle merupakan bagian dari konsep zero waste dengan mendirikan tempat pembuatan kompos dan industri kecil daur ulang sampah. Pengelolaan sampah secara terpadu yang melibatkan proses pengomposan, pendaurulangan dan pembakaran (incenerator) dapat mereduksi sampah sampai 96% (Bebasari, 2000).
Optimalisasi fungsi lahan pertanian sebagai tempat pendaurulangan bahan organik akan menghasilkan banyak keuntungan, yaitu dari segi penanggulangan penumpukan sampah maka sekitar 70 – 90% proporsi berat basah dari sampah kota merupakan bahan kompos, ini berarti jumlah sampah yang berpeluang terserap untuk lahan pertanian sangat besar. Selanjutnya, peluang terjadinya pencemaran akibat penggunaan bahan kimia pupuk dapat ditekan karena sebagian dari penggunaan pupuk buatan dapat disubstitusi oleh pupuk organik atau kompos.

Sesungguhnya tanah mineral masam sebagai lahan pertanian membutuhkan suplai bahan organik yang tinggi, dan saat ini kebutuhan bahan organik untuk lahan pertanian semakin meningkat apalagi dengan beralihnya sejumlah petani ke sistem pertanian organik. Pengoptimalan fungsi lahan pertanian sebagai tempat pendaurulangan sampah kota merupakan tindakan tepat, karena proporsi bahan organik dalam sampah kota tergolong tinggi. Sampah kota yang berasal dari tujuah pasar di Jakarta menunjukkan bahwa setelah disortasi mengandung bahan kompos cukup tinggi yakni berkisar antara 70-98% dari total berat basah, dan hasil kompos setelah pengeringan rata-rata mencapai 30% terhadap berat sampah sebelum disortasi atau 37% terhadap berat sampah setelah disortasi.
Daur ulang sampah organik juga dapat bersumber dari sisa hasil panen produk pertanian itu sendiri. Juga, bahan pembenah tanah (soil conditioner) yang saat ini telah mulai digunakan di perkebunan kelapa sawit antara lain bahan organik yang berasal dari tandan kosong sawit (TKS) maupun limbah cair kelapa sawit (LCKS) yang merupakan limbah pabrik kelapa sawit (PKS). Bahan pembenah tanah ini selain memperbaiki kesuburan tanah juga beperan secara tidak langsung dalam meningkatkan tanah terhadap erosi. Juga, jerami sisa panen padi di lahan-lahan sawah telah banyak digunakan oleh petani sebagai bahan pupuk kompos. Aplikasinya di lapangan oleh kelompok tani menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik jerami padi dapat meningkatkan panen padi.


Potensi jerami dan lokasi pembuatan kompos di Propinsi Bengkulu.


Kelayakan Skala Industri
Keberadaan pupuk anorganik di pasaran akhir-akhir ini menjadi langka. Kelangkaan pupuk anorganik di tingkat konsumen salah satu penyebabnya adalah pendistribusian yang tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran, sehingga harga pupuk anorganik subsidi menjadi mahal. Juga keadaan ekonomi Indonesia yang sedang labil sehingga pemerintah terpaksa mengurangi subsidi untuk pupuk anorganik. Semua keadaan ini menyebabkan harga pupuk organik semakin mahal sehingga sangat memberatkan beban petani. Andai saja sistem pertanian kita beralih ke pertanian organik, tentu permasalah di atas tidak akan muncul.
Departemen Pertanian mencanangkan program ”Go Organic 2010”, yang berarti produk pertanian harus dibudidayakan secara organik atau tanaman dipupuk dengan pupuk organik atau kompos. Dapat dibayangkan berapa jumlah kompos yang dibutuhkan jika semua usaha budidaya pertanian harus menggunakan pupuk organik. Program tersebut dapat berhasil jika dirintis dari sekarang.
Bahan baku pupuk organik sangat mudah diperoleh karena memanfaatkan sampah organik. Bahan bakunya bisa ditemukan disekitar kita sehingga produksinya bisa berjalan terus. Dengan demikian, kelangkaan pupuk bisa teratasi dan tentu harganya akan lebih murah.





1 komentar

admin mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.